Petir yang menurut Jokpin pecicilan itu
memang betul pecicilan.
Kota Garo. Daerah kecil dengan pasir
putih alih-alih tanah merah. Terbagi menjadi beberapa desa, dipisahkan
sekelompok pohon kelapa sawit—yang bagiku tampak seperti hutan. Pohon-pohon itu belasan kali tinggiku!
Petir-petir itu. Sembarangan masuk
rumah orang. Tidak mengetuk, tidak mengucap salam. Tos-tosan dengan televisi. Mentang-mentang
rumah para transmigran yang berdinding papan itu terbuka.
Petir yang pecicilan itu lantas mudah
sekali tidak disukai. Tak pernah diundang dan tak diajak makan. Aku mengadakan
ritual mengundang sepi. Biar itu petir terkapar, lagi, dihajar sepi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar