Entah
bagaimana ini bermula: aku patah hati sebelum akhirnya jatuh cinta lagi dengan
orang yang sama. Mau kau kuceritakan? Sini, mendekat kepadaku dan beri aku
kupingmu.
Ia
lelaki dengan api semangat yang cantik. Kubayangkan ada kobaran di matanya saat
mengatakan, “Kautahu, Matari! Kau-tahu! Dan aku tidak tahu kalau Chairil itu
plagiat! Krawang-Bekasi! Oh.”
“Ya,
aku tahu. Ada dosenku bilang begitu ketika kuliah,” sahutku santai, cenderung
heran. Informasi itu bagiku bukanlah hal yang istimewa.
Tidak
baginya yang penyuka Chairil. Kekecewaan melandanya.
Aku,
tanpa berusaha menghibur, semata menganalisis, berkata lirih karena dia memilih
diam, “Apa dia benar-benar plagiat? Maksudku, kita kan tahu konon Chairil itu
bisa langsung hafal sebuah puisi hanya dari sekali membaca. Ya kan? Apa tidak
ada kemungkinan bahwa puisi itu—Krawang-Bekasi itu—merupakan hasil pembacaan
ulangnya terhadap ‘The Dead Young
Soldiers’ karya Archibald MacLeish?”
Terdengar
tarikan napas di seberang telepon lalu dengan suara enggan dia menyahut,
“Entahlah.”
Begitu.
Kami menghabiskan banyak malam untuk berdiskusi hal-hal semacam itu. Terkadang
membahas tulisanku—em, hal yang sebenarnya lebih sering kuamini saja. Aku lebih
sering tidak mengusik tulisanku sendiri, terlebih puisi. Menurutku, biar saja
orang membaca lalu menangkap hal-hal yang bisa ia tangkap dari tulisanku.
Lain
waktu ia akan membacakan puisi karya orang yang tidak kukenal hingga memberikan
pengetahuan baru bagiku; terkadang sekadar menyanyikan lagu yang terlintas di
benaknya. Itu selalu menjadi hal yang menyenangkan bagiku. Diam-diam aku
menutup mataku dan meminta kepada-Nya agar bisa selalu mendengarkan pembacaan
puisinya atau nyanyiannya menjelang tidur. Aku merasa ada yang terbang. Entah
aku, entah doa.
Aku
merasa terbuai dengan segala yang ia berikan hingga malam itu datang. Ia
menelepon dan dengan suara terburu-buru ia bilang, “Matari, Matari, kalau
pacarku meneleponmu nanti, bilang saja kita tidak pernah kontak selama ini.
Tolong ya, Matari!”
Tidak-pernah-ada-kontak.
Kautahu, aku
merasa terluka. Terluka sekali. Seperti yang aku yakini sendiri, aku menjelma
debu dan bayang-bayang.