Sabtu, 12 November 2016

Mereksmi Memberi Warna di #MembacaChairil

          Oktober menjadi bulan yang paling wow sepanjang 2016 ini, bagiku. Pertama, aku mendapat kesempatan sebagai moderator di acara “Membaca Chairil”. Kedua, aku menjadi salah satu tamu undangan untuk peringatan Sumpah Pemuda di Istana Merdeka. Ketiga, aku menjadi salah satu juri lomba puisi. Asyik banget!


        Nah, tulisan ini membahas diskusi “Membaca Chairil”. Horay!

Atur tempat untuk diskusi
                Sebenarnya, “Membaca Chairil” memiliki serangkaian acara: menyusuri jejak Chairil di Cikini dan sekenanya, diskusi buku, hingga malam puisi. Acara pertama, tur sejarah, menyusuri jejak Chairil, aku nggak ikut karena harus gladi resik. Jadi yaa.. nggak bisa cerita apa-apa. Yang jelas sih, tur sejarah itu dipandu oleh teman-teman dari Jakarta Good Guide. Mereka sering bikin acara tur sejarah gitu. Cek aja acara mereka berikutnya.
Ini dicomot dari @wulanparker deh kayaknya. Soalnya, ada Wulannya! Haha.
Oh ya, itu suasana jalan-jalan menyusuri jejak Chairil dan suasana diskusi.
       Deg-degan dimulai ketika rombongan tur sudah tiba di ke:kini dan bersiap untuk mengikuti diskusi buku. Sekira pukul 17.30 diskusi buku Chairil karya Hasan Aspahani dimulai.

Yuk, mulai diskusinya! 

         Acara dibuka dengan pembacaan puisi oleh teman-teman dari Malam Puisi Jakarta: Edoy, Riza, Syahrul, dan Danis. Baca puisi apa? Tentu karya Chairil-laaahhh~
         
Beuhh, gayanya Riza! Dihayati betul.

          Banyak hal baru (dan menarik pasti) tentang Chairil. Aku curiga, jangan-jangan Bang Hasan ini lebih tahu tentang Chairil daripada Chairil sendiri. Hahaha. Habisnya, kau tanya apa, kurasa buku Chairil bisa menjawab. Kalau nggak, ya tanya langsung kepada Bang Hasan.
          Misalnya nih ya, kau tahu Chairil sudah menetapkan cita-cita di jalur seni ketika usianya 15 tahun? Padahal, ayahnya Chairil, Toeloes, orang yang cukup berada dan sangat berharap Chairil jadi pegawai sebagaimana dirinya (emm, jabatan bapaknya sih setingkat bupati, kalau disamakan dengan sekarang).
          Chairil itu usil sekali. Ini kita bisa lihat dari karya-karyanya. Dia cenderung memberontak terhadap bahasa. Misalnya penggunaan kata “legah”, alih-alih “lega”. Selain itu, ada kata dari puisi “Kenangan” yang menjadi bahan debat aku dan teman-teman Malam Puisi Jakarta ketika rapat penentuan nama acara. Biar kujelaskan dulu. “Membaca Chairil” adalah nama yang diusulkan Danis. Aku, mengusulkan:
Chairil
Mereksmi Memberi Warna
         
          Aku jatuh cinta pada kata “mereksmi”. Aku cari di KBBI, tidak ada. Hasil googling waktu itu juga tidak memuaskan. Meski begitu, aku tetap utarakan judul itu. Sebagaimana diduga, mereka yang mendengar akan bertanya, “Mereksmi itu apa?”
          “Aku nggak tahu.” Ya, memang aku nggak tahu.
          Kami mulai berasumsi-asumsi. Aku pikir, mungkin mereksmi itu ditegaskan oleh frasa berikutnya: memberi warna. Jadi, mereksmi sama dengan memberi warna. Namun, yah, itu cuma ke-mung-ki-nan. Bukan yang pasti betul. Tidak mau berisiko, judul itu tidak digunakan.
          Dasarnya lapar wawasan, aku dan teman-teman bergerilya dari teman yang satu ke teman yang lain, dari grup yang satu ke grup yang lain, hingga dapatlah pengetahuan bahwa mereksmi merupakan salah satu bahasa prokem yang berkembang di Medan kala itu. Orang menggunakan bahasa kode kepada yang lain. Kata kapan jadi kavanderpan. Semacam itu. Nah, mereksmi merupakan bahasa kode untuk mereka. Iya, mereksmi itu artinya mereka! Gils. Aku jadi membayangkan ada orang yang menulis puisi pakai bahasa “gaga”! Jadi gini:
          Kagamuga segalagalugu diga hagatigakugu

          Mamam.


          Kembali ke acara diskusi buku Chairil karya Bang Hasan Aspahani. Dengan asyik, Bang Hasan cerita tentang Chairil yang bertengkar dengan Asrul Sani karena masalah plagiarisme, Chairil yang dipukul HB Jassin di belakang panggung ketika Jassin akan pentas, hingga keluarga Chairil. Kau bisa baca sekilas tentang itu di buku Chairil, kok. Selebihnya, misalnya untuk tahu makanan favorit Chairil adalah ketan durian atau untuk tahu Chairil harus menulis untuk ditukarkan dengan Rp25,00 guna membeli salvasan atau untuk tahu puisi Chairil kesukaan Bang Hasan, ataauuuuu.. untuk tahu kalau buku ini akan difilmkan, ya kau harus bertemu Bang Hasan langsung. Hehehe. 

Berfoto bersama Bang Hasan ketika rapat

Dapat tanda tangan Opung Chairil dan Bang Hasan, dooong~ *pamer*
Rapat pertama bersama teman-teman Malam Puisi Jakarta

Rapat kedua, bersama Bang Hasan, Gagas Media, Jakarta Good Guide, dan pihak ke:kini


 Aku: "Bang, ini pertanyaan titipan. Tentang frasa 'penyair sempurna' yang Abang kutip dari A Teeuw. Apa Chairil sempurna dalam puisi itu saja (A Teeuw membahas 'Cemara') atau memang dianggap sempurna sebagai pernyair? Kita kan tahu betapa bohemiannya dia. Bagi orang yang memilih jalan penyair, apa harus bohemian dulu--seperti Chairil--agar menjadi penyair sempurna? Tapi masalahnya, kalau dia tidak hidup sebagaimana dia jalani, apa dia akan menghasilkan 70 karya luar biasa dalam waktu 7 tahun?"

"Chairil ini, teman-teman, banyak sekali bikin puisi yang ditujukan untuk perempuan. Sebut saja, Mirat, Ida, Sri Ajati, Dien Tamaela, dsb. Chairil ini punya magnet yang kuat terhadap perempuan. Kok pada mau ya?"

Aku: "Mbak, Mbak bangga nggak jadi cucunya Chairil?"
Bu Nasti (cucu Chairil): "Nggak, biasa aja. Karena kan Ibu saya aja tahu dia anak Chairil ketika sudah sekolah."
Aku: "Kalau saya, pasti udah petantang-petenteng Mbak jadi cucunya beliau."
Penonton: "Makanya nggak jadi cucunya Chairil. Cita-citanya gitu sih. Hahahaha."

Bang Hasan kuminta membaca puisi Chairil favoritnya. Judulnya "Aku Berkisar di Antara Mereka". Yay!

Ketika sesi tanya jawab dibuka, banyak yang mau nanya, dong. 

Kesamaan kami yang hadir di sana adalah satu: untuk Chairil

Para penanya mendapatkan goodie bag dari Gagas Media. 

Ini sudah acara Malam Puisi. Bumi, motor Malam Puisi, sedang cerita tentang Malam Puisi di Indonesia
Gabriel Mayo membuka malam puisi

Moderator Malam Puisi kali itu: Ndigun

Bang Hasan membacakan naskah pidato Chairil
Al membacakan "Diponegoro" dengan dramatis!
Rangkaian foto-foto di sini diunduh dari tagar Membaca Chairil di Instagram dan Twitter dan karena banyak yang diunduh akhirnya lupa itu foto jepretan siapa. Kiranya aku dapat maaf :(

Tulisan tangan Chairil
Akhirnya, terima kasih untuk Malam Puisi Jakarta, Gagas Media, Bang Hasan Aspahani, Jakarta Good Guide, dan ke;kini atas kesempatan yang sudah diberikan untuk memandu diskusi "Membaca Chairil". Saya merasa alhamdulillah!


Chairil Anwar.
Binatang jalang dari kumpulannya terbuang yang tak bisa dijinakkan.
Dia datang dengan muka penuh luka, "Siapa punya?" tanyanya.
Dia si pengembara serupa Ahasveros yang dikutuk-sumpahi Eros.
Baginya, nasib adalah kesunyian masing-masing.
Ia suka pada mereka yang berani hidup dan yang masuk menemu malam.
Ia bercita-cita ingin hidup seribu tahun lagi dan hidup baginya,
sekali berarti, sudah itu mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar