Jumat, 14 Oktober 2016

Toko Buku dengan Lampu Muram

          Sebuah toko buku kecil yang dulu hampir tiap minggu kudatangi untuk dapat buku gratis. Ya, tiap hari tertentu toko buku itu akan membagikan 15 buku gratis. Bila bukunya menarik, tentu tak segan aku antre dari dua jam sebelum pembagian. Gratisan selalu menggiurkan, eh?
          Ketika aku ke sini lagi, setelah sekian tahun, kudapati toko buku ini lebih sepi. Lampu-lampunya muram. Tidak sinkron dengan suasana mal yang ramai.
          Pengunjungnya kali ini hanya lima: seorang bapak dengan anaknya yang berpipi gembul menggemaskan, seorang pria bercelana pendek kotak-kotak berjam tangan mahal (mungkin penghuni apartemen yang ada di atas mal ini), seorang pria bertas ransel berjaket kulit, dan aku.
          Perempuan berpakaian putih-hitam diam-diam menekan sebuah alat penghitung. Menghitung jumlah pengunjung. Barangkali di akhir bulan mereka akan rapat evaluasi dan mencari-cari jawaban mengapa toko buku dengan lampu muram itu sepi pengunjung.
          Buku-buku yang dipajang masih tersusun rapi. Para pegawai itu tentu tak perlu terlalu mengeluarkan tenaga lebih dan mengeluarkan keluhan-keluhan tentang buku yang berantakan dan tidak dirapikan kembali oleh pengunjung yang habis membaca. Selintas di benak, “Mana yang lebih muram, muka pegawai yang membereskan buku yang berantakan atau muka pegawai yang tidak perlu membereskan buku karena sepi pengunjung?”
          Aku jadi pengin membuat berantakan.


(Kalcit, 8 Oktober 2016) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar