Jumat, 27 Juni 2014

Nina Mencuci Piring

          Nina seorang gadis kecil biasa dari keluarga biasa. Ia sedang mencuci piring di bagian belakang rumah kontrakannya saat ia mengutarakan ini, “Aku ingin pergi ke Operet Bobo, tetapi tak bisa. Mahal. Bapak juga pasti tak tahu JCC. Em, kalau sekarang aku tidak bisa pergi, aku mau di masa depan nanti aku menonton pertunjukan sesering yang aku mau. Semoga nanti anak-anakku juga bisa menonton pertunjukan yang mereka mau, tidak sepertiku.”
          Nina mengamini doanya sambil membilas piring.


(6 November 2013)

Selasa, 24 Juni 2014

Lepas Obat

Hari satu
          Dia akan membuka kotak obat dan melihat kosong di sana. Dia lalu beranjak dari situ. Pandangannya sering kosong dan suka sekali pikirannya mengembara. Dia terbang.
          Dia menyeberang jalan kemudian terhenti di tengah-tengah. Ada dua motor menanti langkahnya. Jaraknya hanya selangkah. Barangkali pengendara dua motor itu akan memaki dan menuduhnya jalan tanpa pikiran. Sebenarnya otaknya memang ia tinggal di bawah bantal.

Hari dua
          Dia masih sekonyong-konyong. Dia membuka kotak obat dan kosong di sana. Dia akan tertawa terbahak-bahak tanpa tahu hal yang ia tertawakan. Ia tak mengerti betapa hal yang tidak lucu menjadi sangat lucu.
          Ia menumpahkan minum temannya dan hampir saja mengenai laptop temannya. Dia lalu menyalahkan gelas yang berdiri sembarangan di atas meja. Ya, mesti ada yang bisa disalahkan agar ia tak bersalah.
          Dia menumpahkan tinta hingga separuh botol. Meja dan lantai menjelma hitam tinta. Ruangan penuh bau tinta. Hidungnya tak berterima. Ia lantas keluar mencari udara selain tinta.

Hari tiga
          Dia akan membuka kotak obat dan kosong di sana.

Hari empat
          Dia akan membuka kotak obat.

Hari lima
          Dia.

Hari …

(4 April 2014)


Jumat, 20 Juni 2014

Ini buat Ajen

          Ahahaha… aku dapat liebster lagi!
          Tanpa mengurangi rasa cinta kepada bangsa dan negara (halah!), aku langsung jawab pertanyaanmu aja ya, Jen! A untuk Ajen, I untuk Ikaf. Kita mulai.

1.     A: Apa yang biasa kamu tuangkan ke dalam blog kamu? Fiksi? Curhat? Atau apa? Kasih alasan yah.
I: Apa aja. Fiksi iya, curhat iya, apa juga iya. Cuma kalau ditanya mau nikah sama kamu aja yang aku jawab “nggak”. Kenapa? Karena aku sayang dia. Uwuwuwuwuw~

2.    A: Adakah buku yang kamu baca lebih dari dua kali? Buku apakah itu? Dan kenapa?
I: Ada. Salah satunya Harry Potter. Kayaknya sih karena aku pelupa, jadi mesti baca lagi biar ingat. Bukunya kan tebal gitu. Terus, sama tabungan deh. Buku nikah juga (nantinya). Amin.

3.    A: Kalau dikasih duit 1 miliar, apa yang kamu lakukan?
I: Siapa yang mau ngasih, Jen? Sini bisikin dulu.

4.    A: Lebih suka twitter atau facebook? Alasannya apakah?
I: Yah, ini mah tergantung dianya aku ada di mana. Kalau dia di fesbuk, ya aku suka fesbuk; kalau dia di twitter ya aku suka twitter. Kenapa? Karena aku sayang dia. Uwuwuwuwuw~

5.    A: Negara yang ingin kamu tinggalin selain Indonesia?
I: Ta, tapi, Jen, aku cinta Indonesia! Gimanapun ini negaraku! Aku nggak mau ninggalin! Kamu jaat. :(

6.    A: Apa hal yang kamu lakukan untuk mengembalikan mood jika stress?
I: Aku nyanyi lagunya Bang Oma: STREEEES~ OBATNYA IMAN DAN TAQWAAAA~

7.    A: Iphone atau Android atau Blackberry? Sertai alasan!
I: Suka semua. Tergantung kamu mau ngasih aku yang mana. Aku nrimo kok orangnya.

8.    A: Kamu lebih pilih buang galau di laut atau gunung? Sertai alasannya!
I: Lebih pilih nggak dibuang sih. Kesian gitu, Jen. Mereka ada masa untuk dibuang. Kan sayang. Mending dijadiin tenaga untuk pembangkit listrik, misalnya. Jadi ada pembangkit listrik tenaga galau. Atau bisa dijadiin studi, jurusan sendiri. Jadi kita bisa bikin skripsi tentang kegalauan. Kayaknya ada kan tuh teorinya Freud yang kecemasan hati. Iya nggak sih?

9.    A: Kalau kamu dikasih mesin waktu, ke masa lalu yang mana kamu ingin pergi?
I: Mesin waktu itu untuk orang yang menyesal. Aku nggak mau menyesali yang sudah terjadi. Kalau memang harus terjadi ya terjadi saja. Kita cuma perlu berjalan maju. Lagian ya, Jen, kalaupun ada mesin waktu, pasti harganya mahal. Nggak ah. Sayang.

10.  A: Menurut kamu tidur siang itu penting nggak sih?
I: Penting banget buat Aprie. Kamu kenal Aprie nggak? Dia juga ngeblog, lho! Di blognya sih dia bilang suka semangka sama sepatu. Itu bo’ong. Dia suka sama mamasnya. Cuma nggak bilang aja. aku nggak ngerti sih kenapa dia malah ngakunya suka sepatu sama semangka. Gitu deh, Jen. Kamu ngerti kan ya maksudku?

11.   A: Apakah pekerjaanmu sekarang sesuai dengan cita-cita masa kecilmu?
I: Aku waktu kecil cita-citanya mau jadi ustadzah, Jen. Hahaha. Sekarang jadi pengajar bimbel. Secara harfiah, itu tercapai (dalam bahasa Arab, “ustadzah” berarti “guru [perempuan]”). Yay!


          Oke. Itu sudah kujawab semua ya! Terima kasih, Ajen! *cups*


Kamis, 19 Juni 2014

37 Episode Sekian

Akhirnya aku mesti menuliskan 37 lagi!

(Ehm, buat kamu yang bertanya-tanya, “Kok ‘lagi’?” cek aja ini atau ini. Aku nggak ubah gaya tulisku waktu itu ya. Iya. )

Malam itu sudah malam.
Oke, kita bisa paham ini, ya?
Well, sebenarnya aku dari tempat kerja jam lima sore.
Karena sudah tidak ada KBM sore, kami bisa pulang cepat. Apalagi malam itu malam nishfu sya’ban.
Kami bergegas pulang.

Dari Rawamangun hingga Pangkalan Jati, Kalimalang, perjalanan normal—katakanlah macet dikit itu biasa.
Sekira 45 menit.

Nah. Persoalannya adalah dari Pangkalan Jati ke rumah.
Aku tidak dijemput. Alhasil aku naik 37.

Fyi, waktu tempuh dari Pangkalan Jati ke rumahku itu sekitar 10 – 15 menit. Waktu normal. Nggak pake macet.

Bisakah Jatiwaringin tidak macet, Pemirsa?
Tentu saja TIDAK.

Bayangin aja, masa sampai depan pizza hut yang mestinya yahelah paling juga lima menit naik angkot, eh ini sampai 50 menit! Kurang sadis apa coba?

Jam 18.50 aku masih di jalan. Magrib jelas ketinggalan.

Cerita dimulai dari depan pizza.

Lampu tiba-tiba mati. Matinya tiba-tiba. Ngerti nggak sih?
Dari nyala terus mati gitu, lho.
Oh, bukan, bukan, ini nggak ada kaitannya sama PLN.
Nggak usah mensen doi.

Lampu angkot di bagian penumpang mati.
Lampunya kecit (saking kecilnya) banget. Nggak tahu deh itu berapa watt. Eh, ngomong-ngomong tentang watt, aku ingat James Watt si penemu mesin uap yang sering muncul pas hafalan SD. Terus aku ingat juga Watti, tokohnya Dee di Supernova: Petir (yang jadi kakaknya Etra). Jadi, si Watti dan Etra punya bapak, bapaknya punya toko elektronik, makanya nama anaknya begitu. Si Etra keren deh. Dia bisa menyalurkan kekuatan petir (dia suka gitu sama petir) jadi pengobatan. Terus, apa hubungannya sama lampu angkot mati? Em, nggak ada sik. Aku cuma nggak fokus aja. Emang nggak boleh? Apalo apalo?

Sekali lagi,
Lampu angkot di bagian penumpang mati. Semua menganggap itu hal yang biasa sampai seorang bapak-bapak yang mirip sama Pak Lek bilang, “Eh, lampunya kenapa tuh?”
Semua langsung fokus ke lampu. Lampunya mengeluarkan asap! Aku ngeri-ngeri asyik bayangin ada om jin yang keluar dari lampu itu terus mau mengabulkan tiga permintaan terus aku mikirin mau minta apa aja gitu deh.

Nah, berhubung asap yang keluar makin banyak—dan nggak ada om jinnya—si babang angkot matiin saluran lampu dari depan. Lampu beneran mati. Keributan reda. Sebentar.

Nggak lama orang-orang hebih lagi. Saking hebohnya (padahal karena tipo dan aku malas tekan tombol hapus di komputer). Orang-orang heboh lagi karena ternyataaaa kabelnya kebakar dan langit-langit angkot yang dari bahan karpet itu nyala (kayak lu nyundut karpet pake rokok gitu deh; kan ada baranya tuh). Spontan si babang angkot turun dari singgasananya, dia buka bajunya terus cabut lampunya pake baju itu.

Sayangnya oh sayangnya, itu kabel masih menyala. Jadi kayak kabel bom yang di film kartun itu, lho! Di ujungnya udah ada api yang siap menjalar. Di bagian depan, dekat bangku sopir, asap mengepul. Orang-orang panik terus teriak-teriak, “Keluar, keluar!”

Jeder.
Geluduk terdengar.
Hujan turun dengan deras.
Eh, ini aku serius.
Waktu itu hujan deras banget dan geluduknya juga gede.
Jadi kayak di sinetron gitu.
Orang-orang keluar dari angkot, berdiri di jalan, dalam cuaca kayak gitu.

Babang angkot mengatasi sendiri itu angkot yang mengepulkan asap. Nggak ada yang bantuin. Woh, angkotnya ngeri banget! Udah berasap, terus macet, kanan-kiri-depan-belakang kendaraan semua! Beuh, ngeri deh!

Aku cuma bilang sama Tuhan, “Ya Allah, tolong bantuin abangnya… .”

Setelah beberapa menit, babang angkot berhasil mengusir asap dari angkotnya. Fiuuuuh… . Dia memadamkan percik-percik api kayaknya pakai baju yang dicopotnya. Habis itu, angkot baru dipinggirkan—dengan dibantu bapak-bapak yang mirip Lekku itu.

Udahannya, kami diminta masuk lagi ke angkot. Bukan untuk jalan lagi, tapi untuk nunggu angkot berikutnya. Angkot udah nggak bisa jalan. Si babang angkot yang bertanggung jawab itu menelepon teman-temannya.

“Lae, minta nomor lapo!”
Terdengar was-wes-wos dari hapenya.
“Lae, lae, pulsa gue abis, lae. Telepon balik.”

Berhasilkah si babang 37 menelepon temannya untuk minta bantuan?
Malangnya, tidak.

Akhirnya si babang 37 kami yang baik itu jalan kaki ke Pangkalan Jati (tempat ngetemnya 37). Dia meminjam payung ibu-ibu yang penampilannya kayak ustadzah di tipi.

Aku cepetin ya ceritanya.
Si babang 37 kembali.
Cumaaaa, masalah berikutnya, angkot belakang ini sudah ada penumpangnya dan tersisa 8 bangku, padahal kami ada 9 orang.

“Bapak, Ibu, angkotnya cuma cukup 8 orang, empet-empetan nggak papah?”

“Nggak papalah, Bang. Yang penting keangkut.”
Yang ngomong ini bapak-bapak berbadan besar.

Selesai.
Kami pun pindah ke angkot berikutnya.
Tebak yang dempet-dempetan siapa?
Ya salah satunya pasti akulaaah!
Kenapa?
Karena badanku kecil dan ya… karena badanku kecil. Syukurlah. Jadi muat.

Babang angkot 37 yang kedua ini dengan aksen batak bilang,
“Ah, gimana mau narik. Angkotnya nggak dicek.”

Agak sombong nggak sih dia?
Ntar dia ketula. Aku lanjutin deh.

Oh ya, di 37 yang kedua ini aku langsung lihat lampunya. Lampu angkot normal. Aman. Insya Allah.

Perjalanan lancar jaya (dalam artian tidak menemui kendala, cuma macet doang)… sampai jembatan tol!

Udah ya itu jembatan muatnya cuma mobil dua (Satu dari arah sana, satu dari arah sini), eh si 37 ini mesinnya tba-tiba mati.

Ulang.

Mesinnya tiba-tiba mati!
Matinya mesin tiba-tiba!

HUWAAAAAA~

Kami yang tadi dari 37 yang pertama berpandang-pandangan. Nggak ada yang ganteng.
Eh, bukan, maksudnya, ngerti kan ya, tadi abis kena musibah gitu angkotnya, terus sekarang dapat angkot pengganti yang bermasalah juga? Kan ngeri ya? Iya.

“Kebakar lagi mesinnya?”
Entah siapa yang tanya begitu.

“Wah, jadi pulang nggak ini kita?”
Ada yang tanya begitu.
Itu lucu, tapi kan ini dalam keadaan darurat. Jadi gimana mau lucuuuu?

Si babang nggak jawab. Aku jadi ingat Desi Ratnasari dulu yang sering jawab, “No comment.”

Si babang 37 turun lalu berjalan ke arah kiri angkot. Entah ngapain dia di situ. Ibarat motor, mungkin lagi nyela.

Zzzztttt… . Zzzzttt… .
suara angkotnya kurang lebih gitu.
Si babang 37 balik ke kemudinya. Coba men-starter. Kaga nyala, permisah!

Dia turun lagi. Mencoba lagi entah apa yang tadi dilakukannya. Habis itu dia ke singgasananya lagi. Coba starter. Gagal lagi.

Kami makin panik.
“Tadi di pangkalan masih ada mobil nggak sih?”
“Tauk deh. Nggak liat.”
Orang-orang di 37 kedua pada ngomongin.

Setelah bolak-balik beberapa kali, akhirnya mesin pun menyala.

“ALHAMDULILLAAAAH!”
Seru bapak-bapak di sebelahku.

“Jadi ini kita pulang?”
“Iya, jadi, jadi, Bu,” sahut si babang 37.

Jeder.
Geluduk masih terdengar di langit sana.

Masalah sudah selesai?
Belum!

Sampai di Alhakim (itu nama hotel dan kolam renang), si babang 37 panik. Pasalnya, di situ banjir!

Tadinya sempat ragu-ragu tuh si babang, tapi akhirnya dengan keyakinan teguh hati ikhlasku penuh kami berhasil lewati banjir itu. Iyeeeeyyyyy~

Lalu lagu apa yang melintas di benakku?
Lagu Ida Laila:
          “INSYAFLAAH WAHAI MANUSIAAA BILA DIRIMU BERNODAAA~”


Ringkas cerita:
Jadi, dari Pangkalan Jati – rumahku yang biasanya 10 – 15 menit, waktu itu dua jam lebih! :O
Udah sih gitu aja.

(12 Juni 2014)


Selasa, 17 Juni 2014

Hati-hati dengan Aku Rindu Kepadamu

          Ada sesuatu di antara kami. Ini tak bisa kujelaskan dengan logika kebanyakan. Ah, sengaja kuceritakan kepadamu biar kau bisa bantu aku: sebenarnya apa yang terjadi?
          Tidak, tidak, aku tidak bisa berkata ini hal yang buruk. Em, tapi, ah ya, kaunilai sendiri saja setelah mendengar ceritaku.
          Mulanya rindu.
          “Apa kaurindu kepadaku hari ini?” tanyanya.
          “Memangnya kalau aku bilang ‘aku rindu kepadamu’ lantas kau akan muncul di depan pintu kantorku begitu saja?”
          Berikutnya sesuatu yang aneh terjadi. Dunia tempatku berpijak sempat berputar beberapa detik. Kukira aku kena vertigo atau akan pingsan atau ada gempa.
          “Tidak ada gempa,” begitu menurut temanku ketika kuutarakan pikiranku tentang gempa.
          Teleponku berbunyi. Tanpa menungguku bilang halo, ia sudah menyambar di seberang sana, “Apa yang kaulakukan?”
          Aku bingung. “Apa yang kulakukan?”
          “Ya, apa yang kaulakukan?” tanyanya lagi.
          Aku makin tak mengerti.
          Ia menyahut tak sabar. Katanya, “Aku sekarang berdiri di depan pintu kantormu!”
          Ah, Benar saja! Dia di sana! Aku melihatnya berdiri tepat di depan pintu kantorku.
          Ini tidak hanya sekali-dua kali terjadi. Tiap kali aku bilang kepadanya “Aku rindu kamu”, tahu-tahu ia sudah muncul di depan pintu kantorku begitu saja, sehingga kau barangkali bisa berpikir dia tiba-tiba muncul dari pot di depan kantor atau dari kotak tisu.


(3 Juni 2014) 

Kamis, 12 Juni 2014

June, Hai June

Dear June,
          Salah satu hal yang mengesalkan adalah saat kau ditinggal tidur padahal kau sedang sangat ingin mendengar suaranya. Kau menanti teleponnya, menanti suaranya melantun dari seberang sana.
          Yang lebih mengesalkan, kau tidak bisa menyalahkan orang yang ketiduran. Tidur itu anugerah, June. Tuhan memberi waktu istirahat untuk tubuh-tubuh yang lelah. Kau tidak bisa menyalahkan orang yang tertidur di tengah pembicaraan atau tertidur di tengah penantianmu yang menggebu. Kautahu mereka perlu istirahat.
          Kau memang akan mengecek jam berkali-kali. Kau mungkin juga akan mengambil buku untuk kauhempas kembali karena sebenarnya kau hanya melihat huruf, tidak bisa membaca. Pikiranmu sedang ada kepadanya.
          Matamu segar bugar, June. Kau takut kalau-kalau kau melewatkan telepon darinya. Kaupikir ia bisa saja tiap saat membuat teleponmu berbunyi—biasanya dengan suara parau ia akan bilang, “Aku ketiduran. Kamu belum tidur? Hoaahm….”
          Kesal dan lega berpadu sekaligus, June. Kesal karena santai sekali ia bilang begitu—padahal kau menantinya dengan sangat. Lega karena akhirnya kau mendengar suaranya dan penantianmu lunas sudah.

June, hai June, kaudengar aku?
Ah, kau tertidur juga rupanya. Bagus untukmu. Pikiranmu sudah tenang, sehingga kau tidur lebih cepat daripada aku.

Selamat malam.

(6 Juni 2014)


Senin, 09 Juni 2014

Ini Buat Abon

Hai, Abon!
          Makasih ya sudah ngasih award ke aku. Ya emang, aku tahu kok aku mirip Dian Sastro. *iyain aja biar cepet*
          Aku sebelumnya sudah pernah dapat Liebster award, tapi waktu itu aku jawab di twitter. Rencananya, untukmu pun kujawab aja gitu di twitter, tapi apalah daya rencana tinggal rencana. Kita manusia cuma bisa berusaha. *apeeu*
          Melalui tulisan ini, aku cuma jawab pertanyaan yang sudah kauajukan di sini aja, ya! A itu berarti Abon, I itu berarti Ikaf. Ngerti ya? Ada pertanyaan?
          Bentar, ada pertanyaan dulu nggak? Jangan sampai menyesal kemudian ini.
          Nggak ada? Yakin? Nanti keluar di ujian lho!
          Bener nggak mau nanya? Eh lah, kamu kan udah nanya di blogmu ya? Aku kan tinggal jawab ya? Bilang dong dari tadi, Bon! Jadi aku nggak ngetik banyak-banyak. Kan pegel juga. Hih. Dasar cowok.

1.     A: Mengenal blog dari mana, sih?
I: Ketemu aja di jalan, terus kami kenalan gitu. Lama-lama akrab, tapi kami nggak jadian kok.

2.    A: Udah berapa kali ganti blog?
I: Blog yang sekarang ini yang kedua. Aku gagal dengan yang pertama. Aku cedih cekali. :(

3.    A: Kalau makan soto pake tangan langsung atau pake sendok?
I: Pake apa pun asalkan sama dia mah asyik aja. Uwuwuwu~
  
4.    A: Punya kenalan cewek yang jomblo nggak? Kenalin bisa kaliiii.
I: Ta, tapi, aku kan cewek… . Em, kamu punya Om ganteng yang jomblo? :B

5.    A: Mmm, enaknya gue ngasih pertanyaan apalagi ya?
I: Duh, soal sulit ini. Bentar ya, aku pikir-pikir. Hmmm, apa ya? Enggg… . Tapi kalau aku kasih usul kamu mau dengerin aku nggak? Apa kamu mau aku kasih pertanyaan? Etapi kan kamu yang pengin bikin pertanyaan. Lah, terus aku harus gimana dong?

6.    A: Oiya, hingga sekarang dapat apa dari ngeblog?
I: Jadi gini, kalau kita selalu mikir “dapat apa”, kita jadi nggak kreatif. Mestinya, kita yang memberikan sesuatu. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Jangan mengharapkan “dapat apa” dari blog, tapi “apa yang bisa kita beri untuk blog”. Gitu. Anak muda itu harus semangat! Kan kata Bung Karno juga gitu. Tahu kan ya kata Bung Karno? Ya gitu. Terus, kamu tahu nggak kalau Bung Karno dan Edward Cullen itu sama-sama lahir tahun 1901? Ya seangkatan gitu sama aku. Kamu ngerti nggak sih maksud aku?

7.    A: Jalan-jalan yuk keliling Indonesia. Mau?
I: TMII maksudnya?

8.    A: Bisa masak nggak?
I: Bisa. Mbak warteg kan?

9.    A: Tipe blog lo itu yang kayak gimana sih?
I: Aku mah nggak macam-macam. Yang penting bisa jadi imam dalam ibadah dan sehari-hari. Terus, setia, penyabar, penyayang, bertanggung jawab. Ganteng mah bisa diatur. Selama akunya cinta mah dia bakal ganteng. Iya, semoga kami bahagia dan saling mencintai “lebih lama dari selamanya” (kalau kata Khrisna Pabichara) dan “sepanjang usia Tuhan” (kalau kata Aan Mansyur). Amin. *usap muka*

10.  A: Menurut lo, blog lo bermanfaat nggak buat orang lain?
I: Lumayanlah. Bisa dikasih award gitu.

11.   A: Mau ngucapin makasih ke gue nggak? Ngasih uang gitu.
I: Oke. Punya kembalian lima puluh ribu? Sini dulu kembaliannya.

          Udah gitu doang pertanyaannya, Bon? Nggak seru ah.