Kamis, 27 Maret 2014

Lelaki dan Perahu

          Ini aku cerita dari kejauhan. Ada seorang lelaki hendak menaiki perahu yang sudah tidak layak pakai. Orang-orang tiada mencegah niat si lelaki berperahu dengan kapal yang diramalkan akan karam itu.
          Dengan otaknya yang sekepal, si lelaki bukan orang yang tidak berpikir akan berakhirnya ia bersama perahu. Ia sudah tahu itu. Sudah tahu perahunya akan tenggelam di tengah lautan. Sudah tahu ia takkan mencapai seberang dengan perahu yang akan karam.
          Sakitnya aku saat ia tetap memilih berperahu. Ia tidak bodoh, tentu. Yang kutahu, ia telah memilih dalam hidupnya dan menerima segala konsekuensi atasnya.
          Aku hanya bisa berdoa semoga ia tiba di seberang dengan selamat. Apa pun caranya.*


*aku berbohong. Aku hanya bisa berdoa semoga dia selamat: dengan tidak menaiki perahu itu, misalnya.


(19 Februari 2014)

Kamis, 20 Maret 2014

Kopdar Asik di Negeri Burung Biru

          Di Negeri Burung Biru, para penduduknya berkomunikasi dengan benda bernama “gawai”. Mereka berinteraksi satu dengan yang lain menggunakan alat tersebut. Salah satu jenis gawai adalah “hape”.
          Adalah Sarah dan Heriko, salah dua pengguna hape di Negeri Burung Biru. Mereka berkenalan juga melalui hape.

Awal Kenalan:
Sarah: Hae~
Heriko: Hae~

          Kian hari mereka kian kenal karena kerap berinteraksi via hape dan gawai jenis lain. Suatu kali, Sarah memperkenalkan Acil kepada Heriko. Heriko bilang, “Aku juga punya banyak teman. Ada Tika, Fika, Ikaf, Jay, Liana, Pice, Andy.”

Tambah kenal~
Acil: Aku Acil Temannya Sarah. Halo!
Heriko: Halo! Aku juga punya teman. Ada Tika, Fika, Ikaf, Jay, Liana, Pice, Andy

          Pergaulan mereka meluas. Si A kenal dengan B yang ternyata temannya C yang bersaudara dengan D. Mereka setiap hari hanya berinteraksi melalui gawai. Sarah jenuh dengan hal ini. Ia pun menyatakan niatnya melalui kicauan, “Hae~ Kita gini-gini aja, nih? Ketemuan, yuk!”
          Kicauan Sarah itu disambar Heriko, Acil, dan yang lain. Mereka setuju dengan usul Sarah ini.

S @chitajelitass: Hae~ Kita gini aja, nih? Ketemuan, yuk!
(._.) @hijaupupus: Yuk! RT @chitajelitass: Hae~ Kita gini aja, nih? Ketemuan, yuk!
Afriliana A Pratiwi @_anafrili: Yuk! RT @hijaupupus: Yuk! RT @chitajelitass: Hae~ Kita gini aja, nih? Ketemuan, yuk!

          Pada hari yang disepakati, mereka berencana bertemu dalam acara yang mereka namakan #KopdarAsik.


          Nah, apa kamu mau bertemu mereka juga? Atau salah satu dari mereka? Atau mau cari kenalan baru? Em, jodoh? Ikut acara mereka aja, yuk! Ajak teman-temanmu juga biar saling kenal.


          Tiada kesan tanpa kehadiranmu. Trims. Ingat, Kawan, dunia tidak sempit, tetapi pergaulan kita yang meluas. Mari! ('-')9

p.s.: kalau mau daftar, kontak ke line Sarah ya. Iya. ID-nya: Chitajelitass
Em, atau nggak, ya kontak twitter kami aja. Sampai ketemu! :) 

Senin, 17 Maret 2014

VVIP

          Angkot itu memang menyuguhkan banyak cerita.
          Malam itu sudah malam (ya, iyalaaah), Nyonya, melalui sandek, menceritakan tentang pengalamannya di angkot saat itu. Bukan pengalaman menyenangkan, melainkan, em, tragis, mungkin.
          Sopir-sopir angkot X, untuk Anda ketahui, memang sering membawa teman/keluarga/siapalah itu di angkot. Biasanya mereka duduk di bangku VVIP alias di sebelah sopir. Malam itu, sopir angkot yang dia naiki membawa keluarganya: istri dan satu anak.
          Si anak menangis entah karena alasan apa. Dengan maksud mendiamkan anaknya, Si ibu menampar anak itu. PLAK.
          “Diam nggak!” serunya.
          Bukannya diam, tangis si anak makin kencang. Barangkali si ibu gemas, ia kembali mendaratkan tamparan di pipi si anak. PLAK. “DIAM!”
          Ini berulang beberapa kali. Apakah si anak diam?
          Tidak.
          Si ibu terus melakukan hal yang sama. Karena tidak berhasil mendiamkan anaknya yang menangis, si bapak alias sopir merasa perlu ikut campur.
          Apa yang ia lakukan?
          PLAK.
          Menampar juga. Sambil—juga—membentak, “DIAM!”
          Adegan tampar-menampar itu, lapornya, terus berlanjut.  
          Nah, sampai di sini, menurut Anda, apa yang terjadi 10 tahun, 20 tahun, 30 tahun yang akan datang saat ia—si anak—dewasa? Akan jadi model apa dia jika contoh langsung yang ia terima, kebenaran yang ia punya, kekerasan begitu?

(5 Maret 2014)


Sabtu, 15 Maret 2014

Ibu Jempol dan Anak-anaknya Berwisata di Hari Kerja

          Suatu hari Ibu Jempol mengajak anak-anaknya berwisata di hari kerja. Anak-anak sangat gembira karena ibu mereka mengurangi jatah bekerja dan memilih wisata. “Kita ke mana, Bu? Mau ke mana?” tanya mereka sambil menarik-narik baju ibunya.
          “Kita ke Salihara,” jawab Ibu Jempol.
          Ibu Jempol mengajak anak-anaknya masuk ke dalam Anyara, sepatu wedges karet Nona Ika. Anak-anak dengan riang masuk Anyara. “Mari! Mari!” seru mereka.
           Nona Ika pulang kerja naik transjaka jam lima. Ia berharap bisa lekas tiba. Ibu Jempol dan anak-anaknya pula tak sabar mencapai Salihara.
          Sebenarnya, Ibu Jempol punya rahasia. Dengan Ibu Jari ia ingin berjumpa. Pula anak-anaknya. Ibu Jari itu siapa? Ya, ya, sini kuberi tahu, pasang telinga. Ibu Jari dan anak-anaknya biasa menumpang dalam sepatu cokelat seorang pria. Pria ini bukan pria biasa, ia pemilik hati Nona Ika.
          Naik transjaka dari jam lima. Ibu Jempol dan anak-anaknya menopang Nona Ika. Membantunya bergelayutan semampu-mampunya.
          Transjaka jam lima banyak betul penggemarnya. Meski begitu, Ibu Jempol dan anak-anaknya tak surut rianya. “Macet itu biasa. Nikmati saja selagi bisa,” demikian Ibu Jempol berkata.
          Nona Ika pemilik Anyara kurus tubuhnya. Kadang Ibu Jempol merasa Nona Ika bodoh orangnya. Bagaimana tidak, sudah tahu kurus, ia pilih berdiri di muka, dekat sopir transjaka yang sedang bekerja supaya transjaka baik jalannya. Nona Ika menjadi pusat tumpu orang-orang yang kalau sopir menginjak rem akan bergelayut ke arahnya. 
          “Ibu, Ibu, mari bantu Nona Ika!” seru salah seorang di antaranya.
          “Ayo, ayo, Nak.”
          Ibu Jempol dan anak-anaknya bekerja luar biasa. Meski “bekerja”, bagi mereka ini sebenar-benarnya wisata. Mereka menopang Nona Ika sambil bernyanyi-nyanyi, memperdengarkan suara. Sesekali terdengar juga, “Wooohooo”, saat mereka harus bergelayut ke sana ke mari ikuti irama laju transjaka.
          Bagi Ibu Jempol dan anak-anaknya, sopir transjaka ini lembut hatinya. Ia membunyikan klakson dengan bunyi “tin”, bukan “TIN”, bukan pula “TIN-TIN” bila kendaraan lain tak segera. Ia melajukan transjaka tak seperti gerbong makan mengejar kepala pada kereta: berlomba-lomba.
          Magrib sudah menunjukkan muka. Ibu Jempol dan anak-anaknya tahu sedang tak salat si Nona Ika. Ibu Jempol dan anak-anaknya lantas bertanya-tanya, “Apa Nona Ika ingat dengan kita? Apa dia berdoa agar kita baik-baik saja di dalam Anyara?”
          Mereka melihat mata menyipit Nona Ika. Sewaktu bus mengerem, tubuh orang-orang tertumpu kepadanya. Ibu Jempol dan anak-anaknya tahu seberapa pemarah dan tak sabarnya Nona Ika.
          “Mari, Nak, kita berdoa. Semoga sabar meliputi Nona Ika hingga ia tak perlu melempar Anyara ke wajah orang-orang yang menggencetnya. Kalau tak ada Anyara, kita akan bagaimana?”
          Anak-anak Ibu Jempol dengan khusyuk berdoa. Ibu Jempol memimpin doa.
          Pukul delapan Ibu Jempol dan anak-anaknya tiba di Salihara. “Ibu! Kita sudah di Salihara!”
          Ibu Jempol terlonjak hatinya. Ia kembali muda. Semangatnya membara. “Mari kita wisata!” seru Ibu Jempol kepada anak-anaknya sambil meninju udara.
          Ibu Jempol dan anak-anaknya mendengar Nona Ika berkata kepada temannya, “Gila! Naik transjaka jam lima! Oh, dan aku lupa ini hari kerja!”
          Temannya tersenyum saja.
          “Pas berangkat tadi aku masih berusia 12 tahun, lho!” seloroh Nona Ika. Ibu Jempol dan anak-anaknya bertanya-tanya Nona Ika ini serius atau bercanda. Ah, kemudian mereka memilih tak peduli saja. Toh, mereka sedang berwisata. Jadi, tidak berpikir yang rumit-rumit di kepala.
          Nona Ika banyak bicara. Namun, kadang Ibu Jempol dan anak-anaknya merasa ia baik hatinya. Ini sebab ia sempat mengeluarkan Ibu Jempol dan anak-anaknya dari Anyara saat di Salihara bahkan ketika di transjaka. Ibu Jempol dan anak-anaknya menikmati pertunjukan dengan gembira. “Hei, di depan sana ada Seno Gumira Ajidarma!”
          Nona Ika banyak bicara. Namun, Ibu Jempol kadang-kadang merasa itu hanya pengalih perhatian karena hati Nona Ika ke mana-mana. Ibu Jempol mengira ini terkait dengan absennya Ibu Jari dan anak-anaknya yang menumpang sepatu cokelat seorang pria. Ya, sebagaimana Ibu Jempol tidak menjumpai Ibu Jari, begitu pula Nona Ika. Ia dan si pria tak kunjung bersua. Entah ini akan berapa lama.

(Salihara, 10 Oktober 2013)        


Jumat, 14 Maret 2014

Choki-choki untuk Ikaf

          “Kaf, mau kukasih choki-choki?” kata seorang lelaki kepadaku.
          “Mau!” Tentu saja.
          “Sebentar, ya!”
          Beberapa menit kemudian, “Yah, ternyata sudah habis.”
***

          Keesokan harinya, ia menanyakan hal itu lagi, “Kaf, mau kukasih choki-choki?”
          “Mau!”
          “Sebentar, ya!”
          Beberapa menit kemudian, “Wah, choki-chokinya belum ada.”
***

          Lusa, ia menanyakan hal itu lagi. “Kaf, mau kukasih choki-choki?”
          “Beneran nggak, nih?”
          “Bener!”
          “Em, mau!”
          “Sebentar, ya!”
          Beberapa menit kemudian, “Tadi sudah kubeli choki-chokinya, tapi ada anak yang menangis. Jadi kukasih choki-choki itu kepadanya.”
***

          Tulat, ia menanyakan hal itu lagi, “Kaf, mau kukasih choki-choki?”
          “Ah, kamu bohongin aku!”
          “Loh, kapan aku bohong? Kan kemarin memang sudah kubeli, tapi—“
          “—Banyak alasan.”
          “Jadi, mau nggak?”
          “Mau!”
          “Sebentar, ya!”
          Beberapa menit kemudian, “Aku kalah rebutan dengan ibu-ibu, Kaf.”
***

          Tubin, ia menanyakan hal itu lagi, “Kaf, mau kukasih choki-choki?”
          “Auk, ah.”
          “Dih, masih sensi.”
          Aku diam. Cemberut.
          “Jadi, mau nggak, Kaf?”
          “Mau.”
          “Sebentar, ya!”
          Beberapa menit kemudian, “Kaf, choki-chokinya katanya habis diborong cewek. Nggak tahu siapa.”
          “Iya. Cewek itu aku. Aku sudah punya banyak choki-choki sekarang. Jadi, kau tak perlu menawarkan choki-choki yang tak kaupunya itu untuk kauberikan kepadaku.”


(9 Desember 2013)


Rabu, 12 Maret 2014

Kisah dari Negeri Hujan Bunga-bunga

          Di Negeri Hujan Bunga-bunga hiduplah seorang putri. Sang Putri jatuh hati kepada pangeran dari Negeri Entah Berentah. Sayangnya, kedua kerajaan dipisahkan sebuah sungai besar dengan buaya-buaya mulut menganga yang siap menghancurkan apa saja.
          Pangeran dan Putri hanya bisa bertukar berita melalui surat yang dikirim melalui merpati. Putri menulis:
          
Pangeranku,
Akankah tiba waktu kita berjumpa lalu hidup bahagia selamanya?

          Beberapa hari kemudian Pangeran membalas:

Putri,
Tentu aku sangat ingin mewujudkan mimpi itu. Bukan saja karena itu impianmu, melainkan juga menjadi mimpiku. Namun, apa daya, buaya mulut menganga itu sangat ganas, Putri. Kita tahu sejak awal bahwa aku tidak akan mungkin bisa mencapaimu. Kalaupun bisa, aku tidak yakin datang dengan tubuh yang utuh.

          Putri terisak-isak membaca itu. Kamarnya serasa penuh sesak. Dengan air mata masih menganak sungai, ia menulis:

Pangeranku,
Tiadakah cara? Tiadakah cara? Tiadakah cara? Tak inginkah kau membuat jembatan?

          Beberapa hari lamanya baru merpati datang lagi kepada Tuan Putri dengan membawa balasan dari Pangeran. Katanya dalam surat:

Putriku,
Itu tidak mungkin, Putri. Kautahu. Para pendahulu kita sudah pernah membuat jembatan. Kau sudah tahu, jembatan itu akhirnya roboh dihancurkan buaya yang beringas.
          
Putri,
Jika ada pangeran tampan yang siap mempersuntingmu dan kau ingin, kau bebas pergi. Aku tak bisa menawarkan apa-apa, bahkan cinta, apalagi hidup bahagia selamanya.

          Sang Putri makin remuk. Ia lantas menulis:

Pangeranku,
Tiadakah cara? Tiadakah cara? Tiadakah cara?

Pangeranku,
Aku ingin denganmu. Jika kau juga menginginkan hal yang sama, kita tentu akan temukan cara. Bukankah hati kita sudah saling terpaut?
Jangan lukai dirimu dengan mencoba merelakan aku bersama orang lain.
Kita pasti temukan cara, Pangeranku. Pasti. Pasti.
         
          Sehari.
          Dua hari.
          Seminggu.
          Berbulan-bulan tiada balasan dari Sang Pangeran. Putri yang resah berjalan keluar istana. Tahu-tahu ia hampir mencapai sungai dengan banyak buaya mulut menganga. Tiada yang tahu. Putri kita ini barangkali gila.
          Sayup-sayup terdengar sesuatu bergerak. Putri mencari asal suara. Ternyata dari atas. Sesuatu melayang di udara.
          “PUTRIIIII!” terdengar seseorang memanggil. Putri melihat ke arahnya. Pangeran dengan wajah semringah melambai dari atas balon udara!
          Ah, berikutnya kita tahu, Pangeran dan Putri akhirnya hidup bersama dan bahagia selamanya.



p.s.: Jika kaupikir Pangeran dan Putri takkan hidup bersama dan bahagia selamanya, ya buat saja mereka hidup bersama dan bahagia selamanya. Pilihan lainnya, kau tak usah berpikir!

Senin, 10 Maret 2014

Sopir Taksi yang Keren Itu

Sambil membaca tulisanku, ada baiknya kausetel lagu ini:

          Membuka pintu taksi Sabtu, 1 Maret 2014, pukul 03.45 WIB aku disambut lagu berirama keroncong yang disetel lamat-lamat. Lagu berbahasa Inggris yang dibawakan ulang dengan irama keroncong. Manis dan lembut.
          Pagi itu kami akan pergi ke Purwokerto dengan menumpang kereta Kutojaya Utara yang berangkat pukul 05.30 WIB dari Stasiun Pasar Senen. Aku berinisiatif menelepon sebuah perusahaan taksi bersimbol “E” untuk membantu kami menyiapkan transportasi. Jakarta masih pagi, apa yang paling mudah selain taksi?
          Ternyata kami mendapatkan sopir taksi yang tidak biasa. Dengar saja selera musiknya!
          Tutur Mas Driver ini begitu lembut. Bahasanya bagus. Tertata. Aku jadi bertanya-tanya sendiri: siapa dia?
          Ia dan Bapak asyik bercakap-cakap. Aku mendengarkan: pembicaran mereka dan lagu yang disetel Mas Driver.
          Mulanya aku tidak tahu judul lagu yang disetel itu. Karena begitu terkesan, akhirnya aku bertanya juga tentang judul dan penyanyinya lalu kucatat di memo ponsel. Lagu And I Love Her  yang dinyanyikan oleh Safitri (penyanyi aslinya The Beatles). “Keroncong in lounge, Mbak,” katanya menambahkan keterangan.
          Sopir taksinya betul menarik. Ia hanya dinas di malam hari. “Siang hari saya kerja,” ujarnya.
          “Oh, kerja apa, Mas?”
          “Saya ngajar.”
          Dengar kata “ngajar”, aku langsung masuk pembicaraan, “Wah, ngajar apa, Mas?”
          “Ngajar tari, Mbak.”
          Ngajar tari di siang hari dan sopir taksi di malam hari! Wow.
          Dia cerita, dia dengan beberapa orang kawannya “iseng-iseng” bikin sanggar nonkomersial di daerah Bogor. Sanggar tersebut mewadahi bermacam kegiatan, di antaranya tari dan teater.
          Ia mengajak anak-anak di sekitarnya untuk berkegiatan. Di daerah tempat tinggalnya banyak anak terlantar.
          “Anak jalanan maksudnya?”
          “Bukan,” sanggahnya. “Banyak anak yang ditinggalkan orang tuanya.”
          Pada beberapa kasus, ayah anak-anak itu menikah lagi lalu meninggalkan istri dan anaknya. Pada kasus lain (yang bisa jadi tambahan kasus pertama), beberapa anak ada yang sudah melacur. Banyak juga yang jadi cadong (semacam istri simpanan atau istri kontrak gitu kayaknya pengertiannya).
          Ini menyakitkan.
         
          Mereka, anak-anak—meminjam istilah Mas Driver—terlantar ini, lalu bergabung di sanggar si Mas Driver. Beberapa yang berprestasi kemudian dipanggil pemerintah setempat untuk tampil dalam berbagai acara. Berita yang bagus!
          “Saya pernah meninggalkan mereka, tapi kemudian saya kembali lagi,” tutur si Mas Driver. “Saya nggak bisa meninggalkan mereka.”
          Mas Driver yang luar biasa ini ternyata pernah kuliah di UNJ Jurusan Olahraga (pencak silat). Kami nyambung karena sama almamaternya. Sayang, kuliahnya tidak selesai karena ia menjadi tulang punggung keluarganya dan menyekolahkan adiknya. Ibunya penari. Ibunya berasal dari Banyuwangi, ayahnya Wonogiri. Orang tuaku nyambung karena mereka pun berasal dari Wonogiri.
          Aaaah, pagi yang menyenangkan! Mendapatkan banyak hal dari Mas Driver. Dia keren banget bisa melakukan sesuatu untuk orang-orang di sekitarnya. Ah, makasih, Mas Driver!


p.s.: kalau kamu naik taksi dengan simbol “E” di malam hari, curigalah sopir taksimu itu si Mas Driver. :))


Kamis, 06 Maret 2014

Kota Inyong

Tanggal 1 - 2 Maret 2014 aku berkunjung ke kota inyong (artinya: saya), Purwokerto. Oh, bukan, bukan, Purwokerto bukan kampungku. Kami ke sana karena ada Saudara yang menikah. Ini kukasih oleh-oleh untukmu:

Ini aku foto dari dalam kereta. Sayang keretanya nggak bisa diam jadi gambarnya goyang, deeh.. :(

Sawahnya kena hama wereng. Beberapa ada yang kebanjiran. :(

Om penghulu mengecek data.

Di bagian sini ada hajatan; di bagian sana ada (entahlah) balapan. Salah satu pagar ayu hajatan (alias aku) malah jadi fotoin balapan. :))

Warga lokal asyik menonton balapan.

Suasana di Stasiun Puwokerto. Bersih dan rapi!

Beberapa orang tampak mengisi data untuk tiket.

Ini fasilitas untuk pemesanan tiket mandiri.

Jatinegara dini hari!

Si Adek gegayaan. Kita anggap saja dia keren, yah? Iyah.

Mecing sama kereta! :))

Ini saudara-saudaraku, yay!

[kiri] aku - [kanan] Piccolo. :))

Tim penerima tamu

Adat Banyumasan. Namanya "begalan".

Pada dasarnya "begalan" mirip jawara di Betawi gitu.

Jawara dari mempelai laki-laki membawa perlengkapan rumah tangga. Semuanya itu ada falsafahnya. Jangan tanya, aku lupa.

Ini masih adat begalan

Bersiap pulang ke Jakarta, yay!

Ini "kondangan" dari warga lokal. Ada yang membawa beras, tempe, mie, dsb.

Mereka menggunakan baskom atau kotak piknik untuk mewadahi beras dan teman-temannya.

Purwokerto itu kota yang bersih. Di pelosok pun disiapkan tempat sampah.

Surat pemberitahuan hajatan yang ditempel di depan rumah.

Ibu-ibu membawa kembali baskom mereka yang sudah diisi oleh tuan rumah sebagai ucapan terima kasih.

PURWOKERTO~ AKU PADAMUH! UYEAH!

Itu sedikit oleh-oleh dari Purwokerto. Kapan-kapan akan kumuat oleh-oleh dari Solo dan Pemalang yang belum sempat kupublikasikan. *dadah-dadah*

Selasa, 04 Maret 2014

Ziarah di Gramedia

          Aku sedang melihat-melihat buku di Gramedia saat ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Cen.
          Di mana?
          Kuketikkan balasan, lantai 2.
          Tak lama ponselku berbunyi lagi. Lantai 2 sebelah mana?
          Aku lantas menuju eskalator—tempat kuduga ia berada—sebagai jawaban pesannya. Benar saja. Ia di sana. Pria berambut gelombang hampir menyentuh bahu yang tergerai berantakan itu menujuku.
          Sebagai pengganti “halo”, aku tersenyum canggung. Tak tahu harus berkata apa, kubilang saja, “Aku lagi lihat buku-buku di sana itu.”
          Aku langsung memunggunginya dan berjalan dengan kikuk. Ia mengikuti saja tanpa berkata apa-apa. Sesampainya di tempat awal aku melihat-lihat buku, kuperhatikan ekspresinya. Sebuah senyum miring terbit di bibirnya. Aku cukup tahu buku-buku ini bukan seleranya, itu sebab tadi kusempatkan memperhatikan reaksinya saat melihat buku-buku di rak sini. Ia tidak bilang apa-apa, tetapi ketika kau buka Twitter nanti kau akan tahu pikirannya. Ia akan menulis: buku-buku macam apa ini. :|
          Aku tersenyum saja lalu melanjutkan pencarian. Kubiarkan ia melihat-lihat—dan barangkali mencaci buku-buku itu dalam pikirannya.

          Teleponku berbunyi. Nama Sarah tertera di sana.
          “Halo,” sapaku.
          “Kaf, lagi di mana?”
          “Gramedia.”
          “Ngapain?”
          “Ziarah.”
          “Hah? Ziarah?”
          “Iya. Menziarahi ingatan waktu pertama kali ketemu Cen. Hahahaha… .”

(22 Oktober 2013)