Selasa, 02 September 2014

Pelakon

          “Keluargaku broken, Kaf,” katanya suatu kali saat kami sedang duduk lesehan di salah satu bagian pelataran Monas. Ia duduk memanjangkan kaki. Kedua tangannya menjadi tumpuan tubuhnya yang condong ke belakang. Pandangannya mengarah ke langit, ke pucuk Monas tepatnya. “Gue nggak kayak lu yang keluarganya utuh.”
          “Terus?” aku cuek saja menggambari tingkah orang di Monas di sebuah buku.
          “Gue tinggal sama nyokap. Jadi tulang punggungnya.”
          “Hmmm,” aku masih mencoret-coret, “terus?”
          “Kaf, gue ngomong serius,” kali ini ia menghadapku. Tangan yang digunakan untuk bersandar tadi sudah ia tarik. Kakinya dilipat. “Lu nggak dengerin gue?”
          “Denger.”
          “Terus kenapa lu bilang ‘terus, terus?’”
          “Ya, terus gue suruh bilang apa? Bilang ‘apa pun latar belakang lu, lu harus berani belajar komitmen’? Bilang ‘jangan semua perempuan berjidat licin yang lewat lu deketin tanpa lu jadiin’? Bilang ‘lu hebat jadi tulang punggung’? Bilang harusnya Bapak-Ibu lu tetap mempertahankan pernikahannya’? Bilang apa?”
          “Ya… bilang—“
          “—Gue cuma pelakon. Lu juga. Kita ini kayak ngejalanin naskah yang kelihatannya full improve padahal sebenarnya nggak. Ini naskah terencana matang, bahkan improve kita sudah diperhitungkan Sang Mahasutradara. Lu mau gue bilang apa?” 
         Semua itu kukatakan sambil tetap memegang buku dan pensil dengan tatapan penuh ke buku. Aku tidak berani membalas tatapannya. Sebab, jika itu kulakukan, akan tampak jelas sekali seolah ada tulisan di dahiku: aku mencintai kamu yang keluarganya broken, yang jadi tulang punggung, yang gebet banyak perempuan tanpa status pacar (apalagi istri), yang bisanya cuma curhat dan hanya menganggapku teman.

(8 Desember 2013)

    

2 komentar:

  1. Postingan yang ini enggak ada komentarnya, aku komentarin degh. (\ ^,^)/~~~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar yang ini belum ada yang balas, aku balesin, deeeh.. (\ ^,^)/ ~~~

      Hapus