Rabu, 06 Agustus 2014

Melancong di Hari Raya

          Untuk pertama kalinya aku merayakan Idul Fitri di kampung, yeeeyyy!
          Ahahaha… . Bersyukur itu mudah, ya! Setelah 14 tahun, akhirnya aku menginjak lagi tanah orang tuaku: Wonogiri—sekaligus untuk pertama kalinya Ied di kampung. Senang? Jangan tanya, deh! Norak bahkan. :D
          Sebanyak dua postingan akan bercerita pengalaman mudikku tahun ini. Kepenginnya sih satu hari satu postingan (aku mudik semingguan), tapi kok ya banyak betul. Jadi, aku korting deh. Seperti asas KB, dua postingan aja cukup.
          Postingan ini mau aku fokuskan ke perayaan hari raya di sana aja ya. Iya.
          Sebagaimana di Bekasi, ibu-ibu sudah mulai masak-masak sehari sebelum hari raya. Bedanya, tidak ada budaya membuat ketupat di kampungku. Sebagai gantinya, ada budaya yang lebih menarik lagi. Namanya genduri (sebenarnya kupikir “kenduri”; aku menuliskan genduri sesuai pelafalan ibuku).
          Para perempuan akan masak di rumah, membuat banyak besek. Para laki-laki dari tiap rumah akan berkunjung dari satu rumah ke rumah yang lain. Lelaki yang berkunjung tersebut akan pulang membawa besek yang sudah disiapkan tuan rumah. Besek ini berisi nasi dan lauk-pauk (misalnya telur rebus, orak-arik tempe, sambal goreng ati, kerupuk; variatif sih). Seru ya? Iya.
          Oh ya, genduri ini dilangsungkan sore hari pada puasa terakhir.
          Selepas berbuka, orang-orang di kampungku akan berkumpul di masjid untuk takbiran. Tidak hanya kaum lelaki, tetapi juga kaum perempuan (kan mereka sudah selesai masak). Beberapa anak muda membuat kelompok-kelompok kecil bertakbir keliling kampung dengan membawa obor.
          Di kampungku, lampu hanya ada di rumah-rumah penduduk. Lampu jalan pun hanya dipasang di daerah pemukiman. Nah, kalau kamu melintas area persawahan, tentu saja tidak ada penerangan. Itu sebab mereka berkeliling membawa obor (ke warung saja aku bawa senter kok).
          Unsur seru dari minimnya penerangan di kampungku ya itu: bisa main senter dan lihat bintang dengan jelas sekali!
          Di malam takbiran orang-orang di kampungku bertakbir hingga larut malam. Dalam keadaan biasa (bukan Lebaran gitu) lepas isya aja kebanyakan orang sudah tidur pulas.
          Pagi di hari raya, orang-orang di kampungku sejak pagi sudah di masjid. Setengah tujuh lapangan atau masjid sudah penuh. Aku dan keluargaku sudah tidak kebagian di dalam masjid. Kami salat di pelataran rumah penduduk. Jangan kaubayangkan pelatarannya tanah rata macam di sini. Di sana itu pelataran rumah penduduk kalau nggak tanah ya batu-batuan. “Kita kayak di-massage, Mbak,” begitu lelucon adikku saat pantatnya mencapai batu-batu itu. Hahaha, sakit-sakit asyik sih.
          Selesai salat, orang-orang langsung bersalaman (masih di area masjid). Mereka bersalaman sampai benar-benar sudah semua orang disalami, kurasa. Selepas itu, kampungku sepi karena orang-orang asyik dengan kegiatannya masing-masing. Aku bingung. Tidak ada saling mengunjungi antartetangga sebagaimana kami di Bekasi. Aku bertanya kepada ibuku tentang hal ini. Katanya, biasanya ada banyak orang yang mengunjungi rumah kami. Mungkin karena rumah utama penuh (mendadak empat keluarga kumpul), orang-orang sungkan mampir ke rumah kami atau memang ada kumpul keluarga juga di rumah mereka dan merasa sudah bersalaman di masjid tadi.
          Hari pertama Lebaran kami berkunjung ke rumah Mbah Kakung dan beberapa kakak ibuku. Sepanjang jalan aku asyik memperhatikan suasana. Jalanan di sana jauh dari ramai meski hari raya. Beberapa memang tampak hilir mudik, tapi tak banyak. Apa ini karena aku membandingkan dengan Bekasi yang mendadak padhet ndhedhet pas Lebaran ya? Jauh bangetlah suasana ramainya.
          Yang ramai pada hari pertama Lebaran adalah masjid. Ya, orang-orang berbondong-bondong kembali ke masjid pada siang harinya (bahkan ada yang sejak salat Ied tetap di masjid) untuk halalbihalal.
          Di sana ada juga budaya fitrah ke lurah setempat ketika hari raya. Mulanya aku bingung. Fitrah? Di hari raya? Ke lurah? Bukan ke mustahik? Aku mengasosiasikannya dengan zakat.
          Ternyata bukan. Fitrah yang dimaksud ini semacam silaturahmi ke tokoh-tokoh yang dihormati di daerah itu. Kalau di Bekasi sini kayak ke ulama, gitu.
          Hari kedua Lebaran di kampungku tak kalah seru. Ada melancong. Acara melancong hanya ada ketika hari kedua hari raya. Pusatnya di lapangan dekat balai desa. Hiburan yang disuguhkan berupa reog dan campur sari.
          Jajanan? Jangan tanya. Banyak banget! Ada pecel, es dawet, mie ayam, baso, dan kawan-kawan.
          Terus, terus, yang bikin aku norak apa? Di sana ada Thomas gujes-gujes! Ehm, itu lho, odong-odong yang bentuknya kereta. Aku udah lama banget kepengin naik itu! Sayang, kalau di Bekasi sini (Jakarta juga) Thomas gujes-gujes dimonopoli anak kecil dan ibu-ibu yang bawa anak. Padahal kan aku kepengin naik jugaaa… . Masa iya aku pinjam anak siapa dulu gitu biar bisa naik?
          Nah, kurasa Allah sangat baik kepadaku dan memberi kesempatan aku naik Thomas gujes-gujes di kampung. Tanpa aku mesti minjam anak orang! Hahaha. Bak Miss Universe aku dadah-dadah ke ibuku dari dalam Thomas gujes-gujes.
          Ehm.
          Begitulah, pembaca yang budiman. Kisahku merayakan hari raya di kampung. Sisanya aku ceritakan via foto-foto di postingan berikutnya saja ya! Dadah.

                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar