Kamis, 19 Juni 2014

37 Episode Sekian

Akhirnya aku mesti menuliskan 37 lagi!

(Ehm, buat kamu yang bertanya-tanya, “Kok ‘lagi’?” cek aja ini atau ini. Aku nggak ubah gaya tulisku waktu itu ya. Iya. )

Malam itu sudah malam.
Oke, kita bisa paham ini, ya?
Well, sebenarnya aku dari tempat kerja jam lima sore.
Karena sudah tidak ada KBM sore, kami bisa pulang cepat. Apalagi malam itu malam nishfu sya’ban.
Kami bergegas pulang.

Dari Rawamangun hingga Pangkalan Jati, Kalimalang, perjalanan normal—katakanlah macet dikit itu biasa.
Sekira 45 menit.

Nah. Persoalannya adalah dari Pangkalan Jati ke rumah.
Aku tidak dijemput. Alhasil aku naik 37.

Fyi, waktu tempuh dari Pangkalan Jati ke rumahku itu sekitar 10 – 15 menit. Waktu normal. Nggak pake macet.

Bisakah Jatiwaringin tidak macet, Pemirsa?
Tentu saja TIDAK.

Bayangin aja, masa sampai depan pizza hut yang mestinya yahelah paling juga lima menit naik angkot, eh ini sampai 50 menit! Kurang sadis apa coba?

Jam 18.50 aku masih di jalan. Magrib jelas ketinggalan.

Cerita dimulai dari depan pizza.

Lampu tiba-tiba mati. Matinya tiba-tiba. Ngerti nggak sih?
Dari nyala terus mati gitu, lho.
Oh, bukan, bukan, ini nggak ada kaitannya sama PLN.
Nggak usah mensen doi.

Lampu angkot di bagian penumpang mati.
Lampunya kecit (saking kecilnya) banget. Nggak tahu deh itu berapa watt. Eh, ngomong-ngomong tentang watt, aku ingat James Watt si penemu mesin uap yang sering muncul pas hafalan SD. Terus aku ingat juga Watti, tokohnya Dee di Supernova: Petir (yang jadi kakaknya Etra). Jadi, si Watti dan Etra punya bapak, bapaknya punya toko elektronik, makanya nama anaknya begitu. Si Etra keren deh. Dia bisa menyalurkan kekuatan petir (dia suka gitu sama petir) jadi pengobatan. Terus, apa hubungannya sama lampu angkot mati? Em, nggak ada sik. Aku cuma nggak fokus aja. Emang nggak boleh? Apalo apalo?

Sekali lagi,
Lampu angkot di bagian penumpang mati. Semua menganggap itu hal yang biasa sampai seorang bapak-bapak yang mirip sama Pak Lek bilang, “Eh, lampunya kenapa tuh?”
Semua langsung fokus ke lampu. Lampunya mengeluarkan asap! Aku ngeri-ngeri asyik bayangin ada om jin yang keluar dari lampu itu terus mau mengabulkan tiga permintaan terus aku mikirin mau minta apa aja gitu deh.

Nah, berhubung asap yang keluar makin banyak—dan nggak ada om jinnya—si babang angkot matiin saluran lampu dari depan. Lampu beneran mati. Keributan reda. Sebentar.

Nggak lama orang-orang hebih lagi. Saking hebohnya (padahal karena tipo dan aku malas tekan tombol hapus di komputer). Orang-orang heboh lagi karena ternyataaaa kabelnya kebakar dan langit-langit angkot yang dari bahan karpet itu nyala (kayak lu nyundut karpet pake rokok gitu deh; kan ada baranya tuh). Spontan si babang angkot turun dari singgasananya, dia buka bajunya terus cabut lampunya pake baju itu.

Sayangnya oh sayangnya, itu kabel masih menyala. Jadi kayak kabel bom yang di film kartun itu, lho! Di ujungnya udah ada api yang siap menjalar. Di bagian depan, dekat bangku sopir, asap mengepul. Orang-orang panik terus teriak-teriak, “Keluar, keluar!”

Jeder.
Geluduk terdengar.
Hujan turun dengan deras.
Eh, ini aku serius.
Waktu itu hujan deras banget dan geluduknya juga gede.
Jadi kayak di sinetron gitu.
Orang-orang keluar dari angkot, berdiri di jalan, dalam cuaca kayak gitu.

Babang angkot mengatasi sendiri itu angkot yang mengepulkan asap. Nggak ada yang bantuin. Woh, angkotnya ngeri banget! Udah berasap, terus macet, kanan-kiri-depan-belakang kendaraan semua! Beuh, ngeri deh!

Aku cuma bilang sama Tuhan, “Ya Allah, tolong bantuin abangnya… .”

Setelah beberapa menit, babang angkot berhasil mengusir asap dari angkotnya. Fiuuuuh… . Dia memadamkan percik-percik api kayaknya pakai baju yang dicopotnya. Habis itu, angkot baru dipinggirkan—dengan dibantu bapak-bapak yang mirip Lekku itu.

Udahannya, kami diminta masuk lagi ke angkot. Bukan untuk jalan lagi, tapi untuk nunggu angkot berikutnya. Angkot udah nggak bisa jalan. Si babang angkot yang bertanggung jawab itu menelepon teman-temannya.

“Lae, minta nomor lapo!”
Terdengar was-wes-wos dari hapenya.
“Lae, lae, pulsa gue abis, lae. Telepon balik.”

Berhasilkah si babang 37 menelepon temannya untuk minta bantuan?
Malangnya, tidak.

Akhirnya si babang 37 kami yang baik itu jalan kaki ke Pangkalan Jati (tempat ngetemnya 37). Dia meminjam payung ibu-ibu yang penampilannya kayak ustadzah di tipi.

Aku cepetin ya ceritanya.
Si babang 37 kembali.
Cumaaaa, masalah berikutnya, angkot belakang ini sudah ada penumpangnya dan tersisa 8 bangku, padahal kami ada 9 orang.

“Bapak, Ibu, angkotnya cuma cukup 8 orang, empet-empetan nggak papah?”

“Nggak papalah, Bang. Yang penting keangkut.”
Yang ngomong ini bapak-bapak berbadan besar.

Selesai.
Kami pun pindah ke angkot berikutnya.
Tebak yang dempet-dempetan siapa?
Ya salah satunya pasti akulaaah!
Kenapa?
Karena badanku kecil dan ya… karena badanku kecil. Syukurlah. Jadi muat.

Babang angkot 37 yang kedua ini dengan aksen batak bilang,
“Ah, gimana mau narik. Angkotnya nggak dicek.”

Agak sombong nggak sih dia?
Ntar dia ketula. Aku lanjutin deh.

Oh ya, di 37 yang kedua ini aku langsung lihat lampunya. Lampu angkot normal. Aman. Insya Allah.

Perjalanan lancar jaya (dalam artian tidak menemui kendala, cuma macet doang)… sampai jembatan tol!

Udah ya itu jembatan muatnya cuma mobil dua (Satu dari arah sana, satu dari arah sini), eh si 37 ini mesinnya tba-tiba mati.

Ulang.

Mesinnya tiba-tiba mati!
Matinya mesin tiba-tiba!

HUWAAAAAA~

Kami yang tadi dari 37 yang pertama berpandang-pandangan. Nggak ada yang ganteng.
Eh, bukan, maksudnya, ngerti kan ya, tadi abis kena musibah gitu angkotnya, terus sekarang dapat angkot pengganti yang bermasalah juga? Kan ngeri ya? Iya.

“Kebakar lagi mesinnya?”
Entah siapa yang tanya begitu.

“Wah, jadi pulang nggak ini kita?”
Ada yang tanya begitu.
Itu lucu, tapi kan ini dalam keadaan darurat. Jadi gimana mau lucuuuu?

Si babang nggak jawab. Aku jadi ingat Desi Ratnasari dulu yang sering jawab, “No comment.”

Si babang 37 turun lalu berjalan ke arah kiri angkot. Entah ngapain dia di situ. Ibarat motor, mungkin lagi nyela.

Zzzztttt… . Zzzzttt… .
suara angkotnya kurang lebih gitu.
Si babang 37 balik ke kemudinya. Coba men-starter. Kaga nyala, permisah!

Dia turun lagi. Mencoba lagi entah apa yang tadi dilakukannya. Habis itu dia ke singgasananya lagi. Coba starter. Gagal lagi.

Kami makin panik.
“Tadi di pangkalan masih ada mobil nggak sih?”
“Tauk deh. Nggak liat.”
Orang-orang di 37 kedua pada ngomongin.

Setelah bolak-balik beberapa kali, akhirnya mesin pun menyala.

“ALHAMDULILLAAAAH!”
Seru bapak-bapak di sebelahku.

“Jadi ini kita pulang?”
“Iya, jadi, jadi, Bu,” sahut si babang 37.

Jeder.
Geluduk masih terdengar di langit sana.

Masalah sudah selesai?
Belum!

Sampai di Alhakim (itu nama hotel dan kolam renang), si babang 37 panik. Pasalnya, di situ banjir!

Tadinya sempat ragu-ragu tuh si babang, tapi akhirnya dengan keyakinan teguh hati ikhlasku penuh kami berhasil lewati banjir itu. Iyeeeeyyyyy~

Lalu lagu apa yang melintas di benakku?
Lagu Ida Laila:
          “INSYAFLAAH WAHAI MANUSIAAA BILA DIRIMU BERNODAAA~”


Ringkas cerita:
Jadi, dari Pangkalan Jati – rumahku yang biasanya 10 – 15 menit, waktu itu dua jam lebih! :O
Udah sih gitu aja.

(12 Juni 2014)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar