Senin, 05 Mei 2014

Lampu

          “Pernah ke Kawah Putih, Kaf?” tanya Barika kemarin lusa.
          “Iya, pernah.”
          “Bagus banget, ya! Sulit untuk berpikir Tuhan itu tidak ada ketika kau dihadapkan pada keindahan semacam Kawah Putih.”
          “Emmm, ya.”
          “Menurutmu Kawah Putih itu gimana?”
          “Bau.”
          “Hah?”
          “Iya, ada bau belerang. Daripada di Kawah Putihnya, aku lebih suka pas naik mobilnya, dari bawah (tempat parkir) ke atas (Kawah Putih). Itu lebih seru.”
***
          Itu bukan yang pertama kali aku dan Barika berbeda fokus. Percakapan di atas bikin kami ingat obrolan setelah menonton pementasan Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya yang dilakoni Niniek L Karim dan kawan-kawan dalam rangka ulang tahun Putu Wijaya ke-70 tanggal 11 April 2014 lalu. Menurut Barika, alurnya dahsyat, akting Niniek L Karim juga luar biasa. Selain itu, ia pun membahas unsur intrinsik lain yang membuatnya terpukau (dan hingga saat ini ia masih senang sekali mengingat itu).
          “Menurutmu apa yang menarik?” tanyanya ketika itu.
          “Lampu.”
          “Lampu?”
          “Ya. Lampu.”
          Ia tidak habis pikir: mengapa Ikaf menjawab lampu? Sama. Aku juga tidak tahu. Hahaha… .
          Nah, karena tidak tahu itu, aku menganalisis diri sendiri (yang bisa digoyahkan oleh orang yang lebih mengenal aku selain aku). Ini dia:
1.     Aku bertanya-tanya tentang waktu, waktu yang melatari peristiwa-peristiwa di panggung, berdasarkan lampu-lampu. Bisa? Tidak. Karena aku buta terhadap hal ini. Aku cuma menebak-nebak saja. Mungkin ini malam karena lampu redup. Oh mungkin ketika adegan itu waktunya pagi karena lampu oranye puas sekali, dan seterusnya.
2.    Ada adegan Nyoman bermonolog di salah satu sisi depan panggung (jangan tanya kanan-kiri!), tetapi lampu tersorot ke Gusti Biang. Aku lalu mencari-cari lampu untuk Nyoman. Apa memang tidak ada atau tidak menyala? Padahal dalam adegan itu Nyoman emosional sekali sampai berlelehan air mata. Di mana lampu? Mengapa kami tak diizinkan fokus melihat itu?
3.    Adegan lain adalah dialog Nyoman dengan Ngurah. Itu dialog lumayan panjang. Lagi-lagi tidak ada lampu untuk mereka. Aku bertanya-tanya sendiri. Apa yang penting hanya Gusti Biang? Ini sebab lampu untuk Gusti Biang kupikir tidak berkurang. Ini menarik.
4.    Puncak ketertarikanku terletak di ending. Semua lampu mati, kecuali sebuah lampu teplok (yang mulanya kupikir properti mati). Ia menjadi satu-satunya cahaya—yang tak lama kemudian ikut mati. Kegelapan sempurna. Total. Ketika itu melintas fragmen “Doa”-nya Chairil Anwar di benakku: “tinggal kerdip lilin ditelan sunyi”.

          Beberapa detik setelah semua cahaya padam, lampu kembali menyala sebagai tanda pertunjukan usai dan penonton dapat leluasa memberi apresiasi dengan tepuk tangan. Di sana aku membuat keputusan: kegelapan sempurna itu ada, tetapi tidak selamanya.

(4 Mei 2014)


2 komentar:

  1. Bisa jadi setting lampu di gedung itu permanen, alias ngga bisa diobrak-abrik sama sutradara jadi bukan lampu yang ngikutin pemain (kecuali lampu hollow) tetapi pemain yang ngikutin di mana lampu berada (di kampusku sih gitu tiap kali mentas). Atau bisa jadi memang dalam naskahnya begitu. Lagipula apalah fungsi sebuah lampu jika tidak ada kegelapan. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Woh, gitu ya, Va. Seingatku di kisaran panggung itu lampu yang dipakai lampu pasangan semua. Aku nggak gitu yakin dengan lampu permanen. Aku lebih mencurigai naskahnya sebetulnya. Entahlah.

      Hapus