Jumat, 07 Februari 2014

[Cerpen] Matahari Tak Mampir Hari Ini

          Mungkin matahari tak mampir hari ini. Mendung menggelayut. Langit menggencarkan gumpalan-gumpalan awan hitam. Sesekali angkasa terpecah oleh segaris cahaya dan bila sudah begitu, akan terdengarlah bunyi menggelegar menciutkan nyali pegawai yang akan ke kantor.
          Aku terhimpit di antara langit yang marah-marah dan bumi yang tak acuh. Aku mengernyitkan dahi tanda tak setuju dengan perseteruan langit-bumi. Tetapi aku tidak bisa berbanyak kata karena sebentar lagi pun bisa jadi aku dipanggil bumi dan dibenamkan dalam tanah. Maklum, sudah 80, jompo.
          Setelah lima belas menit menunggu, akhirnya muncul juga metro mini 47 itu. Aku maju sedikit agar bisa lebih cepat masuk ke dalamnya. Pada jam-jam seperti ini angkutan apa pun pasti penuh, begitu juga metro mini jurusan Pondok Kopi – Senen ini. Aku berdesak-desakan dengan penumpang lain dan, seperti yang sudah kuduga, aku tak dapat tempat duduk—juga tak ada yang memberi kesempatan duduk. Ya sudah, aku memilih berdiri di dekat pintu menghadap ke depan.
          Aku mengacak-acak rambutku sebentar untuk melepaskan helai-helainya dari air-air hujan yang hinggap. Beberapa bagian kemejaku pun basah. Rupanya hujan tadi cukup nakal.
          Aku meratakan pandangan ke seisi bus kecil ini. Biasa-biasa saja. Wanita berseragam pabrik motor, SPG, mahasiswa, pegawai negeri, pelajar, dan copet. Aku dapat mengetahui beberapa pekerjaan orang-orang itu dari seragam atau gaya berpakaian mereka, make-up, atau sikap mereka ketika menatap orang. Semua cenderung setipe. Lihat saja wanita muda yang kukira SPG itu. Alisnya ditato legam, kelopak matanya berwarna-warni, bulu matanya dibuat menjadi lentik, pipinya berwarna lebam, dan bibirnya menyala bagai sehabis memakan satu cimol dengan bubuk cabai dua sendok makan. Itu baru wajahnya, belum kemejanya yang membentuk badan, roknya yang kehabisan bahan, dan sandal berhak tinggi yang kecil runcing seperti tusuk satai. Dengan seragamnya yang berwarna merah ditambah nama sebuah tempat perbelanjaan di kemejanya, jelaslah bahwa dia SPG.
          Kalau mahasiswa, kita akan lebih mudah mengenali. Ber-jeans, berkaus, dan cuek. Satu hal lagi yang membedakan mahasiswa atau bukan adalah dari uang yang diberikannya kepada kondektur. Seperti pemuda ber-jeans¸berkaus merek terkenal di Yogya, dan memakai tas ransel yang ada di sebelah kananku. Ia menyodorkan uang Rp1500,00. Lima ratus rupiah lebih murah daripada yang lain. Sambil menyerahkan uang, ia menambahkan, “IKIP, Bang.” Jika sudah begitu, kondektur akan pergi dengan wajah kecut.
          Tentang copet, aku mengetahui dari… .
          Ah, mengapa? Tiba-tiba aku tidak tertarik lagi pada topik mengenali profesi orang ini. Perhatianku sepenuhnya tertuju pada laki-laki yang duduk di bangku depanku. Usianya lebih muda dariku, mungkin separuh umurku. Ia berkacamata segiempat, berkemeja garis-garis putih biru, dan bercelana bahan warna hitam. Sampai di situ, masih normal saja, tapi yang membuat pandanganku tersita adalah ulahnya. Tidak, dia tidak membuat rusuh satu bus, tidak.
          Dahiku berkerut melihatnya dari belakang. Ia mengeluarkan uang ribuan berjumlah tiga lembar. Uang-uang itu ia bentuk menjadi kipas, tapi tidak untuk dikipaskan. Ia amati ribuannya satu per satu. Ia raba-raba uang-uang itu pelan dan hati-hati. Gerakannya itu seolah menunjukkan wajah yang berpikir meski aku tidak melihatnya dari depan. O, iya, mengenai kacamatanya yang segiempat tadi aku melihatnya ketika ia menyodorkan salah satu ribuannya kepada pengamen.
          Setelah puas mengamati, ia masukkan uang-uang itu kembali ke dalam saku kanannya. Selang beberapa detik, ia mengeluarkan empat lembar ribuannya yang lain dari saku celananya: dua dari saku kanan, dua dari saku kiri. Ketika keempatnya tiba di telapak tangan, ia memperlakukan hal yang sama seperti tiga lembar ribuannya tadi: membentuk kipas, mengamati satu per satu, dan meraba dengan hati-hati. Hanya saja, kali ini ia tidak mengembalikan ke tempatnya semula, tetapi dimasukkan ke saku kemeja bagian kanan, dikumpulkan dnegan tiga lembar ribuan yang tadi.
***

          PRAANG…!
          Suara pecahan kaca itu membuatku terkejut. Aku segera mendatangi arah suara. Tak ada siapa-siapa, hanya sepotong batu bata kini terdampar di lantai ruang tamu. Baru saja aku sampai di ruang kerjaku, terdengar suara pecahan lagi, dan disusul dnegan pecahan lain dari arah belakang rumah. Spontan aku cabut samurai yang menjadi pajangan ruang kerjaku dan segera keluar. Sesampainya di teras, aku teriak sambil berkacak pinggang di tengah hening malam, “Hei! Siapa itu? Sini kalau berani!”
          Tak ada yang menyahut. Setelah kupikir agak tenang, aku kembali masuk ke dalam rumah yang memang sedang sepi. Aku memang sedang sendiri. Dalam waktu dekat, istriku akan melahirkan anak keenam. Untunglah, aku segera mengungsikan istri dan anak-anakku ke rumah orang tuanya. Ya, keadaan di sini memang sedang tidak aman dan aku bertahan di sini hanya untuk mempertahankan rumahku.
          Ternyata kejadian pemecahan kaca itu tak hanya sekali – dua kali, tetapi begitu terus hingga aku bosan teriak-teriak dan hanya tenang membaca di ruang kerja. Namun, suatu kali ketika aku sudah tidak sabar, diam-diam dengan samurai di tangan, aku hampiri ruang depan. Lampu yang awalnya kumatikan, dengan segera kunyalakan. Sekelebat aku melihat bayang-bayang, yang tidak hanya satu, dengan tubuh ditutup sarung menyerupai ninja, yang lari ketika melihat lampu menyala. Cepat-cepat aku buka pintu depan lalu aku menghardik sambil mengacungkan samuraiku, “Pengecut! Sama lampu saja takut! Kalau berani, sini! Satu lawan satu! Bangsa apa kalian? Hanya berani dalam kelompok! Udang!”
          Sebentar setelah aku teriak-teriak itu, terdengar suara letusan pistol di udara. Lalu, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja kini muncul sepeleton tentara. Seseorang yang kukira pimpinannya mendatangiku dan bertanya, “Pak Prayuda?”
          Ditanya seperti itu aku mengangguk heran. Seolah membaca pikiranku, ia berujar, “Mari, Pak, kami amankan.”
          Dengan heran yang belum selesai, aku ikuti langkah-langkahnya. Aku tak terlalu mengerti dengan ucapannya. Amankan? Amankan dari apa? Apakah daerah ini sudah benar-benar tidak aman? Mau diamankan di mana? Bagaimana dengan keluargaku? Rumahku? Tapi ternyata semua pertanyaanku itu tak terlontar dan aku hanya seperti bebek yang digiring ke kali oleh sepeleton tentara.
***

          DUK!
          Kepalaku terantuk pintu. Sopir mendadak menginjak rem. Oh, ternyata ada seorang ibu yang menyeberang jalan dengan kurang hati-hati.
          Amarahku siap meledak saat ini. Aku teringat tanggal 13 Oktober 1965 itu. Awal aku “diamankan”. Mengingat tahun itu, seperti ada yang menusuk ulu hatiku. Mataku yang mulai nanar tak kupedulikan.
          Pandanganku yang belum sepenuhnya terisi berkeliling lagi. Seperti sebelumnya, mataku akan terhenti pada laki-laki yang menatap lembar ribuannya. Ternyata hingga aku tersadar pun, ia masih mengulang hal yang sama: mengeluarkan beberapa ribuan, membentuknya jadi kipas, mengamat-amati, meraba, lalu memasukkan kembali.
          Bus berhenti di depan kantor Kecamatan Pulogadung. Wanita pegawai negeri yang duduk di samping laki-laki pengamat uang pun turun di sini. Aku mengisi tempat kosong tersebut. Kini aku bersebelahan dengan laki-laki itu.
          Sebelumnya aku sempat melihat pelataran kecamatan. Sedang apel rupanya. Seragam biru gelap tertangkap mataku, seragam banpol, linmas, satpol PP, ah semacam itulah. Kamtib mungkin nama umumnya. Aku tidak terlalu mengetahui. Begitu juga dengan kerjanya. Aku tidak terlalu mengerti. Anak tetanggaku yang menjadi banpol pernah suatu kali kutanyakan, “Mau jadi polisi, ya?”
          Mendengar itu ia hanya tersenyum. Katanya, “Banpol tidak untuk jadi polisi, Pak.”
          “Lalu?”
          “Banpol itu bekerja di bawah Pemda.”
          Dari situ aku sedikit tahu bahwa meskipun bernama bantuan polisi, banpol tidak di bawah kepolisian. Namun, aku masih tidak jelas sebenanya apa yang menjadi tugas pokoknya. Aku berpikiran seperti ini karena heran saja. Pada jam-jam tertentu, biasanya pagi dan sore—waktunya orang pergi dan pulang beraktivitas—mereka akan turun di persimpangan-persimpangan. Tangan mereka sibuk mengarahkan pengendara motor maupun mobil. Di antara mereka ada yang memakai topi, ada pula yang memakai baret. Kupikir yang berbaret mungkin lebih tinggi tingkatannya. Mereka tidak berada di setiap persimpangan, tetapi hanya persimpangan tertentu—untuk hal ini, lagi-lagi, aku tidak tahu kriteria pemilihan persimpangan. Selain bertemu di jalan, pernah aku melihat di televisi, mereka menggiring PSK ke dalam mobil berwarna hitam-oranye. Masih dari televisi, aku juga pernah melihat mereka menghancurkan tempat bermukim warga yang disebut-sebut tak memiliki izin. Khusus mengenai izin ini aku mengernyit dan berpikir bahwa untuk tinggal di tanah yang katanya ciptaan Tuhan ini kita harus izin pada pihak tertentu yang merasa memiliki. Aneh. Tapi, apa jadinya ya, kalau ternyata yang harus mereka bongkar itu adalah rumah mereka sendiri? Ah, kok jadi ngelantur.
***

          Aku melihatnya dengan mataku sendiri. Kejadiannya tepat di depanku. Keadaan lelaki berkumis yang kira-kira sebaya denganku itu membuat miris. Kumis yang dulu kuperkirakan rapi terjaga itu kini tidak jelas bentuknya. Aku tidak bisa bergerak dan berlari menghampirinya. Masing-masing tanganku dicekal erat oleh dua orang berbadan Rambo.
          “Mengaku saja. Kamu Lekra, kan?” tanya laki-laki berjaket kulit hitam berperut buncit yang duduk di atas meja. Di sebelah kirinya si Lelaki Berkumis yang sebaya denganku duduk dengan tubuh terikat. Ia meringis. Gigi-giginya bergemeletuk. Dia sedang diinterogasi. Sang Interogator tadi memastikan lagi, “Iya, kan?”
          Kejadian itu mungkin terlihat biasa: ada yang duduk terikat di bangku, ada yang duduk bebas di meja. Tetapi yang membuatku ngeri adalah ketika melihat ke bawah, ke kaki sang Tawanan. Ibu jari kakinya ditindih meja sedangkan meja itu diduduki sang Interogator. Bentuknya seperti baso yang ditiban sekaleng besar baso beserta kuah. Kukunya tak terlihat, tenggelam dalam merah.
          Tak peduli dan seolah tak terjadi apa-apa, sang Interogator menambahkan, “Kamu hanya tinggal bilang, ‘Ya, saya Lekra!’ Selesai. Apa susahnya?”
          Lelaki berkumis masih meringis. Interogator menekankan seluruh berat tubuhnya ke meja yang membuat tawanan tersebut makin tersiksa hingga akhirnya… .
          “AAAAKK…!”
          “Sakit? Mau Teriak? Teriak saja! TERIAK YANG KENCANG!”
          “AAAAAAAAKKKKK…!”
          “HAHAHAHA… . Bagus, bagus. Biar yang lain tahu dengan siapa mereka berhadapan!”
          Sesaat teriakan mereda. Kulihat napas tawanan itu tersengaal-sengal. Kurasakan aku pun begitu. Aku berusaha melepaskan diri, tetapi beberapa kali kucoba tetap tak bisa.
          Sambil mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya, sang Interogator melanjutkan, “Saya masih menunggu. Kamu tahu proses selanjutnya kan kalau tidak mengaku?”
          Lagi-lagi sang Interogator memusatkan berat tubuhnya pada meja. Kulihat ibu jari sang Tawanan. Ibu jari yang sudah kehilangan keibuannya.
          Ditekan seperti itu, sang Tawanan yang sudah tak berdaya itu pun akhirnya meneriakkan, “YAAAA! AKU-MEMANG-LEKRAAAA!”
***

          Siku pemuda yang berdiri di sebelah tempat dudukku secara tidak sengaja menyikut kepalaku. Tetapi untunglah, aku tidak harus melanjutkan kejadian itu. Kurasakan otot-ototku mengejang, kepalaku mengeras, dan gigi-gigi beradu. Mungkin jika melihatku saat ini orang akan berpikir bahwa aku seperti banteng yang siap menerjang kapan saja.
          Ketika itu, setelah lelaki berkumis menyatakan bahwa ia anggota Lekra, ia dilepaskan dari siksaan, sesaat. Ya, karena yang seperti itu sudah menjadi pemandangan biasa. Suatu kali, pernah aku tanya kepadanya, “Apa benar?”
          Ia menggeleng lemah, kemudian mulai bercerita, “Saya-tidak-tahu-apa itu-Lekra. Saat itu, sewaktu saya-sedang berjalan-pulang-habis kerja bangunan-di Cikini, tiba-tiba saya-dihampiri dua orang-berbadan besar-dan sampailah-saya-di sini. Mereka bilang-saya-diamankan. Saya-tidak tahu-apa-yang-mereka maksud.”
          Beberapa hari sesudah cerita itu, ia terpaksa putus hubungan dengan dunia. Ia ditembak oleh salah seorang penjaga yang dengan paksa mengambil sepotong koran bekas bungkus dari tangannya. Yah, hal yang biasa saat itu. Di sana memang tak ada yang dapat benar-benar kami miliki. Mati karena memergoki penjaga yang mencuri, mati karena mempertahankan makanan, semuanya wajar.
          Kembali aku dalam bus ini. Laki-laki di sampingku masih memasuk-keluarkan lembar ribuannya. Kuperhatikan dengan saksama kode uang dan angkanya. Berbeda dan tidak berurutan. Hal ini kulakukan dengan analogi cucuku sering mengumpulkan uang dengan kode dan angka yang berurutan. Kukira laki-laki ini juga berpikir seperti cucuku, ternyata tidak.
          Pandangku menyisir lagi. Bus rupanya sudah tidak sepadat tadi. Kali ini mataku tertancap pada seorang gadis yang sedang membaca catatan-catatannya sambil komat-kamit kecil. Mungkin ia mahasiswa yang akan ujian. Belajar itu untuk ujian, ujian untuk nilai, dan nilai untuk siapa?
          Aku jadi teringat salah seorang cucuku yang mahasiswa. Ia menggerutu, “Kenapa sih, Mbah, cerpenku harus dinilai dengan angka?”
          Aku menatapnya, mencoba menembus pikirannya. Tak berhasil dan kembali hanya bisa menunggu kata-kata selanjutnya.
          “Angka-angka! Suatu penilaian khas dunia. Semua diukur dengan angka. Senang rasanya kalau School of Rock itu benar-benar ada. Penilaian dengan angka dihapuskan dan diganti dengan cara menilai yang lain. Maksud Bi, padahal kan cerpen itu bagian dari sastra sedangkan pengertian sastra itu sendiri menurut salah satu teori adalah kegiatan kreatif yang bentuk dan ekspresinya imajinatif. Jadi kalau ada nilai pasti untuk sastra, berarti kreasi, ekspresi, dan imajinasi seseorang juga dianggap pasti dan berdasarkan konvensi? Lalu bagaimana bisa orang memakai kreasi yang beda, imajinasi yang bebas, dan ekspresi yang tidak dibuat-buat?”
          Belum sempat kukomentari, cucuku menambahkan, “Yang ada jadinya apa, Mbah? Kata salah satu teman Bi, begini: ‘Bi, kita kuliah dengan beliau maka kita harus ikut aturan beliau. Kalau beliau meminta perbaikan, ya lakukan saja. Agar kita lulus, Bi.’ Mau bilang apa, Mbah? Mau protes? Berarti kelulusan Bi dipertaruhkan. Ya, sebenarnya sih, tidak apa-apa, Mbah, cuma… .”
          Hmmmh… ada-ada saja si Biola itu. Cucuku yang satu itu memang tukang protes. Pengetahuannya memang baru setetes, tapi ia pergunakan pengetahuan itu untuk protes tanpa berpikir sisi lainnya. Pernah suatu kali ia lantang ketika ibunya melarang dirinya pergi ke GKJ untuk menyaksikan pentas teater. Katanya, “Aduh, Ibuku sayang. Walaupun Ibu orang tua Bi, apa selalu lebih benar? Ibu ini bersikap seolah kebenaran milik yang tua, milik Ibu. Belum tentu kan, Bu? Sedikit mendekati adil dong, Bu. Masak Mas Unggul boleh ke mana-mana, tapi Bi nggak boleh. Bias gender namanya, Bu. Ibu boleh khawatir, tapi kalau Ibu percaya sama Bi berarti Ibu harus menghilangkan kekhawatiran Ibu dan Bi akan baik-baik saja. Lain soal kalau Ibu nggak percaya sama Bi… .”
          Tak tahan dengan celotehannya itu, sang Ibu pun akhirnya menyerah sambil berpesan agar tidak pulang terlalu larut dan menelepon jika ingin dijemput. Suatu syarat untuk menenangkan hati yang akhirnya diambil Biola. Umh, aku ngelantur lagi.
***

          Setelah 14 tahun, aku akhirnya kembali. Sayangnya, bukan ciuman mesra istriku yang kudapatkan, melainkan tangisan getir darinya. Aku bertanya padanya, “Ada apa?”
          Tanpa jawaban darinya, kutemukan alasan sendiri. Di dalam rumah ada dua sosok terbujur kaku yang tertutup kain batik dari ujung kaki hingga ujung kepala. Yang satu mungil, yang satu agak besar. Perut keduanya membuncit, membentuk kain batik yang menutupi.
          Melihat itu, sambil menahan seluruh cairan yang mendidih di dalam tubuh aku langsung berlari ke luar rumah tak tentu arah. Di depan gang aku hampir menabrak keranda jenazah. Kutanya pada salah satu pengantar mengenai siapa yang meninggal. Yang kutanya menyahut, “Pak Priyono yang tinggal di gang sebelah.”
          Priyono? Priyono karibku? Aku tak percaya jika tidak melihat istrinya terisak-isak di belakang iring-iringan. Apa ini?
          Awangku berpindah mengingat kejadian sebelum tiba di rumah. Ya, sebelum aku dibebaskan. Tiga temanku ditembak mati secara bersamaan, seperti biasa, dengan alasan yang dibuat-buat. Wajah mereka ketika meregang nyawa itu… .
          Tergesa aku duduk di atas sebongkah batu di pinggir jalan. Segera ku mencabut punting kretek bekas yang kusimpan di tempat rokok yang juga bekas. Sambil mengejar napas, kunyalakan korek yang kutemukan entah milik siapa. Kuhirup dalam-dalam rokok itu. Bangsat! Mau apa sebenarnya nasib? Kalau aku salah, mengapa anak-anakku?!
          Selanjutnya terngiang suara istriku, “Kami lapar, Pak. Tetangga-tetangga menjauh. Kami seperti borok menular dan mematikan. Jangankan untuk memberikan makanan, untuk menjual bahan makanan saja orang-orang tidak berani.”
***

          “Permisi, Pak, saya mau turun,” ujar laki-laki di sampingku dengan tiba-tiba. Aku tergagap tak berpegangan. Kudengar jantungku terlonjak-lonjak. Kucoba kembali menguasai diri dengan menarik napas.
          Seperti kaset. Kejadian-kejadian itu seperti kaset yang dimainkan secara otomatis. Aku tak kuasa apa-apa untuk menghentikannya. Jangankan untuk menghentikan, untuk menghindar saja aku tak bisa. Kadang aku malas memejamkan mata karena jika terlelap aku akan bertemu dengan peristiwa-peristiwa yang itu-itu juga.
          Khusus untuk yang terakhir tadi, memang pernah enam orang terdekatku meninggalkanku bersamaan dalam satu hari. Hanya saja ketika itu aku masih sebagai tapol dan hanya bisa mendengar kematian dua anakku dari istriku saat aku sudah dibebaskan meski dengan syarat wajib lapor. Aku tidak benar-benar melihat jasad enam orang tersebut.
          “Permisi, Pak… .” Laki-laki tadi mengulang ucapannya.
          “Eh, oh, tunggu, Pak,” aku menahannya. Sebelum sempat mengelak, buru-buru aku menanyakan hal yang menyita perhatianku. “Saya cuma mau tahu, Pak, mengapa Bapak bolak-balik mengamati uang-uang ribuan?”
          Matanya mengajak mataku untuk melihat lembar ribuan di tangannya. Sambil mengelus pelan ia menjawab, “Untuk rakyat.”



Jaticempaka, 12 Mei 2006
(berusaha) tanpa perubahan

                 

4 komentar:

  1. Ini bagus, twistnya juga dapat. Jalan ceritanya menarik tapi kok aku ngga ngerti endingnya yah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. eng.. tenang, Va. aku juga lupa kok kenapa aku nulis ending-nya begitu. tenang aja, ya!
      salam manis.
      :)

      Hapus