Senin, 07 Oktober 2013

Perihal Kampungan

: Tanggapan untuk Fadhli Amir dalam tulisan "Tidak Semua Orang Kampung Kampungan"

          Hai, Fad, ini adalah tulisan ulangku tentang “kampungan”. Sebagaimana yang sudah kuceritakan kepadamu, tulisan awalku rusak file-nya. Nggak bisa dibuka. Nggak ngerti kenapa. Barangkali memang dia nggak mau dimunculkan. Halah.
          Gini, Fad, aku nggak kepengen kata kampungan dihilangkan dari kamus seperti usulmu itu. Kenapa? Ya, kenapa emang dengannya sampai dia dihapus?
          Jika ada nilai rasa yang melekat dalam sebuah kata, menurutku, ya tanggung jawab masyarakat (alias kita), bukan malah dibebankan kepada kata.
          Membaca tulisanmu aku teringat dengan pembantu rumah tangga. Kupikir ia mendapat nasib yang serupa dengan kampungan. Atas dasar survei “selewat dan suka-suka”-ku, ada kesan hina banget di sana. Orang-orang lantas memperhalus dengan “si mbak” , dsb. Pertanyaanku: emang perlu banget begitu?
          Pada perkembangannya malah ada yang mengganti pembantu rumah tangga dengan asisten rumah tangga. Ini malah menghina, menurutku. Ya, udah, sih, pembantu rumah tangga saja. Toh, di mataku, pembantu rumah tangga sama saja dengan pembantu rektor atau bank cabang pembantu. Eh, aku curiga, deh, orang-orang yang menyebut asisten rumah tangga itu akan mengganti dengan asisten rektor atau bank cabang asisten. XD
          Fad, kautahu, tulisanmu itu kurang ajar betul. Ia mengingatkanku dengan beberapa ingatan dan opini pribadiku tentangnya. Ya, selain ingatan tentang pembantu rumah tangga, aku juga teringat dengan baby sitter. Masih di ranah yang sama dengan pembantu, sih. Gini ceritanya.
          Pada suatu hari yang cerah matahari bersinar meriah (halah!). Aku dan kawan-kawan kuliahku berkumpul di sebuah mal di Jakarta Utara yang (katanya) elit. Aku terganggu dengan perempuan-perempuan berseragam yang menunduk-nunduk dan hilir mudik mengikuti juragan kecilnya. Inferior yang diharuskan. Aku nggak suka.
          Aku lantas nyeletuk, “Kenapa, sih, baby sitter itu harus pake seragam pas ke mal gini? Kayaknya gimana banget gitu.”
          Em, maksudku, keciri banget mereka baby sitter. Kenapa nggak baju bebas aja gitu? Kan jadi sama kayak orang-orang yang lain. Aku dan teman-temanku membicarakan hal ini sambil mengunyah makanan. Pembahasan di meja makan. Aku curiga yang kami makan adalah nasib orang, bukan makanan. Duh.
          Bentar, aku minum dulu.
          … .
          Oke. Lanjut.
          Tentang baby sitter itu, berikutnya kami menemukan yang tidak berseragam, tapi ya tetap saja keciri kalau ia baby sitter. Mungkin nggak kalau yang jalan di depan dengan tangan kosong tanpa belanjaan tanpa anak sambil mengangkat dagu itu baby sitter? Huft~
          Jadi, inti cerita tentang baby sitter ini apa, ya?
          Ah, tauklah. Mungkin aku kangen sama teman kampusku. Mari kita kembali ke fokusmu saja: kampungan.
          Aku menyoroti kampungan bukan pada “seharusnya kata itu dihilangkan (eh, babu masih ada atau arkaik? Eh, maap, fokus!)”, melainkan kepada sikap kita terhadap kata itu. Konsep di pikiran. Aku setuju kalau ada upaya penetralan terhadap nilai rasa negatif pada kata itu. Aku sendiri bukan orang yang selalu bisa menetralkan nilai rasa, sih, masih harus banyak belajaaaar… .
          Udah. Gitu aja.

p.s.:
pernah ada siswa yang heran bukan main setelah tahu aku dipanggil “Mbak” di rumah. Ngerti, kan, konteks “Mbak” yang mereka tahu itu “pembantu”.

(5 Oktober 2013)


4 komentar:

  1. hmmm. menghapus kata "kampungan" lebih kepada kekesalan sebenarnya. Seperti sebuah hal yang tdk mgkin dilakukan, tapi sepertinya ingin. Bukan bermaksud menyalahkan kata. Justru saya menyalahkan kita yang sepakat dengan makna kampungan yang tertera di kamus. Kita seperti mengiyakan, karena terus2n menggunakannya. Menurut saya, makna kata "kampungan" di kamus besar Bahasa Indonesia yang kita jadikan patokan kosakata yang benar, malah mendiskriminasi, dan terkesan ganjil, irasional sebagai sebuah makna kata.

    BalasHapus
  2. Kayaknya 'Mbak' itu lebih nasional deh pengertiannya bukan berarti pembantu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. bagi siapa, Vi? kalau dalam kasus yang kutemukan, "Mbak" itu merujuk ke pembantu mereka di rumah..

      Hapus