Selasa, 15 Januari 2013

Gemericik Air di Ngricik

           Ngricik merupakan sebuah dukuh yang terletak di Desa Nungkulan, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Tanah kelahiran orang tua saya. Barangkali jika Anda cari di google maps tidak ada. Pun di peta.
            Jalan di Ngricik belum lama diaspal—baru beberapa tahun belakangan. Pasar di sana tidak buka setiap hari, tetapi hanya hari-hari tertentu saja—tanggalan Jawa. Namun, fokus saya bukan di situ. Saya mau berbagi tentang air di sana.
            Tiap saya pulang kampung, saya selalu tertarik dengan sistem pengairannya. Bukan, bukan irigasi yang saya maksud. Air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari.
            Penduduk di sana mengambil air tanah tidak menggunakan mesin tertentu, tidak menggunakan timba, apalagi memanfaatkan jasa perusahaan air minum. Mereka mengandalkan sumber air alami. Sumber air ini biasanya ada di sekitar sungai.
            Dahulunya warga setempat pergi ke sungai untuk kegiatan mandi dan cuci-cuci. Sebuah bilik (biasanya tanpa atap) dibangun di tempat yang memiliki sumber air. Dalam satu bilik, biasanya lebih dari tiga orang bisa mandi sekaligus. Pikiran kotor? O, o, pikiran mereka bersih sejernih airnya. Tidak ada yang berpikiran macam-macam melihat orang lain mandi—biasanya mereka menggunakan kain basahan.
            Itu tahun ‘90-an. Masa kecil saya. Tiap kali mandi dan buang air, saya selalu ke sungai. Meskipun tidak buang air, saya akan beralasan buang air demi bisa bermain-main air di sungai.
            Seiring berjalannya waktu, warga tidak lagi menggunakan sungai sebagai pusat kegiatan bersih-bersih. Sekarang di tiap rumah terdapat kamar mandi lengkap dengan peturasannya. Hanya kerbau dan sapi yang masih mandi di sungai.
            Oh, iya, saya tadi mau bicara tentang sistem pembagian air bersih di sana. Tiap rumah di Ngricik memiliki kolam di kamar mandinya. Air ini digunakan untuk banyak hal: minum, mandi, dan bersih-bersih. Mereka memanfaatkan air dari sumber.
            Alur perjalanan airnya kira-kira sebagai berikut:
            Air dari sebuah sumber—biasanya di sungai ada beberapa sumber air—dialirkan melalui pipa ke sebuah kolam kecil yang dibangun di ladang/pekarangan seorang penduduk. Untuk pembangunan kolam kecil dan pembelian pipa biasanya mereka urunan. Dari kolam kecil inilah air meluncur ke rumah-rumah warga yang dihubungkan dengan selang. Tidak ada keran. Untuk menghentikan aliran air di kolam mereka di rumah, mereka menggunakan gabus atau semacam itu untuk menyumbat.
            Satu sumber air bisa dimanfaatkan oleh beberapa warga, tergantung besar-kecilnya air yang keluar dari sumber tersebut. Semakin besar sumber air, semakin banyak warga yang dapat memanfaatkannya. Hingga hari ini.
            Bersyukurlah mereka di sana masih bisa mendapatkan air yang memadai untuk kehidupan sehari-hari. Bukankah air mengisi segala lini kehidupan?

(tulisan ini diikutsertakan dalam Anugerah Jurnalistik Aqua)

2 komentar:

  1. kalau desa Nungkulan ada di Wikimapia
    http://wikimapia.org/street/15843672/id/nungkulan

    Di sana ada semacam kedung mbak?

    BalasHapus