Kamis, 18 Oktober 2012

Epilog



Teruntuk kamu yang pernah kusebut “Bebek”
di sudut pikir

Hai, kamu.
Apa kabar?
Semoga kita selalu bahagia
di mana pun kita berada.

Datangnya surat ini kepadamu
bukan untuk memintamu kembali.
Tenang saja.
Malah, kau bisa baca berdua dengan pacarmu.
Silakan saja.
Hanya saja, bilang padanya untuk menyiapkan hati
kalau-kalau ia jatuh cemburu.
Tentu aku tidak bermaksud membuat siapa-siapa
cemburu terhadapku.
Aku cuma mau bilang yang belum sempat kubilang padamu
saat kita akhirnya memilih tidak bersama.

Kamu boleh tenangkan hatinya dengan mengatakan
bahwa dialah masa sekarang dan masa depanmu.
Aku cuma fragmen dari masa lalu.
Dengan begitu, kuharap kamu tak menderita
karena kecemburuannya.

Kamu yang baik,
ini merupakan epilog atas segala cerita
yang bertitel “kita”.
Aku harap kita masih bisa mengakhiri semua
dengan akhir yang baik.

Aku tahu dan sadari,
masa kamu menggembok sepatuku dan menyembunyikannya di genting sekolah
sudah berlalu.
Masa kamu mengambil fotoku diam-diam
sudah berlalu.
Masa kita berkencan ke perpustakaan nasional
sudah berlalu.
Masa kamu datang ke rumahku dengan bersepeda
sudah berlalu.
Masa kamu memberiku replika tugu khatulistiwa
sudah berlalu.
Masa rokku masuk ke jari-jari motormu
sudah berlalu.
Ah, itu waktu.

Sekarang,
Melalui ini,
aku mau mengucapkan dua hal kepadamu:
maaf dan terima kasih.

Aku minta maaf untuk segala hal
yang menyakitimu dulu
—bahkan mungkin hingga sekarang—
yang berasal dariku.
Aku minta maaf untuk segala hal
yang membuat hubungan kita rusak
terutama yang berasal dariku.

Terima kasih untukmu,
orang yang pernah kusebut “Bebek”,
karena bagiku kau orang yang selalu ceria dan lucu.
Terima kasih sudah (pernah) hadir di hidupku.
Kamu menjadi pelajaran yang terbaik untukkku.
Disadari atau tidak, kamu mendewasakanku
—semoga mendewasakanmu juga—
meskipun mungkin dengan cara yang hanya kita
pahami sendiri.

Aku sangat bersyukur
aku dipertemukan denganmu.
Bukankah Allah punya alasan ketika mempertemukan
seseorang dengan orang lain?

Darimu aku belajar memahami diri sendiri
dan tentu belajar memahamimu.
Darimu aku belajar berterus terang
terutama mengenai perasaan sendiri—bahkan kepada diri sendiri.
Darimu aku belajar bangkit
saat diri terpuruk.
Darimu aku belajar menerima
segala nyata dari skenario Allah Yang Mahabaik.

Karenamu aku merasa cemburu,
karenamu aku merasa bahagia,
karenamu aku merasa patah hati,
seperti permen aneka rasa itu layaknya.

Aku tidak menyesal dengan yang sudah terjadi
di antara kita.
Awalnya kecewa, iya.
Patah hati, iya.
Cemburu, iya.
Namun, kurasa semua itu proses…
proses kita bermetamorfosis menjadi makhluk dewasa.

Kamu tahu,
masih ada kamu di diriku
—ah, sampaikan maafku pada kekasihmu, sebelumnya—
bukan seperti yang dulu, tapi
lebih sekadar cerita masa lalu saja.
Kutempatkan cerita kita di satu sudut
yang hanya kubuka jika perlu belajar.

Melalui surat ini kubilang,
aku  melepaskanmu.
Aku rela untuk semua hal yang sudah terjadi,
aku rela untuk semua hal yang tidak terjadi,
aku rela untuk semua hal yang akan terjadi.
Cukuplah tawa kita di masa lalu
hanya hidup di masa lalu.

Aku melepasmu,
bahagialah.
Tidurlah yang nyenyak tiap malam.
Aku pun begitu.

Demi segala luka,
demi segala tawa,
demi semua yang pernah kita alami bersama,
mari kita berbahagia
—tentu dengan cara kita sendiri.

Aku harap,
kita tidak lupa tentang kita.
Aku harap,
kita bisa belajar dari kita.
Aku harap,
kita tidak mengulang kesalahan kita.
Aku harap,
kita berbahagia.
Di mana pun kita berada.
Siapa pun yang bersanding di samping kita.

Pun aku harap,
kamu menjalin kontak kembali dengan teman-temanmu,
teman-teman kita.
Kamu boleh putus kontak denganku,
tapi jangan dengan teman-teman kita.
Mereka urusan di luar kita.

Untukmu, hai, bebek cinta pertamaku,
di sini kunyatakan perasaanku
yang dulu bahkan dengan sikap
tak mampu kuungkap.

Bebekku, kekasihku, aku mencintaimu.
Dulu.


Rawamangun, 19 September 2012
Tertanda,



aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar