Jumat, 03 Agustus 2012

#MagicalRamadan #Day 13


Visualisasi 13 harapan/cita-cita seolah sudah dalam genggaman

1.    Punya “Roema Matari”
Tok-tok-tok. Suamiku baru saja selesai mematok plang “Roema Matari” di depan gerbang. Itu nama rumah kami. Dengan bahagia yang meluap-luap kusisir rumah dengan mataku: rumah utama berbahan kayu, lapangan bola (aku tak menginginkan generasi setelahku mengetahui sepak bola hanya dari game), panggung teater, masjid, museum pribadi, kolam renang, dan taman labirin (oh, semoga aku sendiri tidak tersesat). Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih… .

2.   Punya museum pribadi
Ternyata bukan cuma aku yang memiliki kenangan terhadap barang-barang pribadiku. Pengunjung museumku pun merasa punya ingatan masa lalu tentang barang pribadi mereka. Saat melihat bantal-guling masa bayiku, misalnya, mengingatkan mereka dengan bantal-guling mereka sewaktu bayi dan mulai mengingat-ingat bagaimana nasib keduanya. Sungguh aku merasa bahagia bisa mengingatkan sejarah hidup mereka—apalagi jika mereka selalu pandai mensyukuri segala hal dalam hidup mereka. Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih… .

3.   Kegiatan di masjidku
Anak-anak yang duduk di depanku ini sebelumnya belum pernah kulihat. Entah mereka datang dari mana.  Aku senang mereka bisa datang ke kelas “menulis cerita”-ku. Ya, sudah kujadwallkan: ada kelas menulis cerita, tari nusantara dan dunia, mendongeng, musik nusantara dan dunia, cooking class untuk para ibu, membuat kerajinan untuk para lansia, dan seterusnya. Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih… .

4.   Punya sekolah “Roema Matari”
Mereka, murid-muridku, sangat bergembira saat kuberikan krayon warna-warni kepada mereka dan memperolehkan mereka menggambar apa pun di lantai kayu kelasku. Selanjutnya, saat kelas selesai kubilang pada mereka harus menghapus kembali coretan mereka, mulanya mereka cemberut dan kesal. Namun, sejak itu, obsesi mereka mencoret-coret tembok dan fasilitas umum pun punah. Mereka sudah tahu bahwa keinginan mencoret-coret selaras dengan konsekuensi sulitnya menghapus coretan. Selain kelas menggambar, di sekolahku ini juga ada makan siang bersama yang diawali dengan pidato (1 hari 1 anak), siswa berpakaian jelek (tanpa seragam), belajar di “ruang kelas” yang sesuai (kebun untuk belajar tumbuhan, misalnya), belajar dari bidang yang mereka minati, kelas musik yang membuat mereka bergerak sesuai dengan keinginan hati, dan sebagainya. Orang-orang menyebut sekolahku sebagai sekolah Totto-chan karena menurut mereka jelas aku jatuh cinta pada sekolah yang dipimpin Sosaku Kobayashi itu. Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih… .

5.   Belajar ke Leiden
Aku berfoto di depan bangunan bertuliskan University of Leiden. Ini minggu terakhir aku belajar di sini. Minggu depan aku sudah harus balik ke Indonesia. Selama di Leiden aku teryakini bahwa sekitar 26.000 naskah kuno Indonesia di sini dirawat dengan baik. Tapi ya itu… saking dirawatnya, aku yang orang Indonesia ini saja tidak diperbolehkan melihat langsung (apalagi menyentuh) naskah kuno Indonesia itu. Menurutku, ini seperti meminjam gelas sendiri di rumah tetangga. Oh, ya, di sini aku bertemu dengan profesor asal Indonesia. Ia mengajar aksara Batak, Jawa Kuno, dan Bugis. Ilmuku bertambah. Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih… .

6.   Membeli naskah-naskah kuno Indonesia
Syukurlah. Sekitar 1000 naskah kuno di Leiden berhasil kubeli. Kuingat-ingat sederet panjang syarat pembelian dan surat kesanggupan perawatan surat-surat kuno tersebut. Untungnya, aku dibantu banyak orang yang sevisi denganku dan mereka mau membantu merawat naskah-naskah kuno tersebut. Para mahasiswa pun berlomba-lomba mempelajari naskah-naskah itu. Mereka terpacu untuk mempelajari warisan nenek moyang dalam naskah-naskah itu dan tidak rela ilmu itu jatuh kepada yang justru bukan orang Indonesia. Oh, ya, aku juga membeli berbagai naskah, foto, dan uang kuno Indonesia yang dijual di internet. Aku sekarang sedang mengincar naskah yang disimpan di London—dengan naskah-naskah di Leiden tetap yang utama. Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih… .

7.   Pergi haji bersama keluarga
Aku sedang asyik tawar-menawar harga dengan pedagang Arab yang bisa bahasa Indonesia ini. Kami—aku, suamiku, orang tuaku, dan adikku—sedang berbelanja untuk kerabat di Indonesia. Mereka pasti sangat senang mendapat oleh-oleh haji ini. Tentu bagiku ini tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kebahagiaanku bisa memenuhi rukun Islam yang kelima: haji. Semoga makin banyak orang yang diberi kesempatan berhaji. Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih… .

8.   Mengembangkan warung Bapak
Sudah tahun ketiga sejak aku mendirikan warung ini. Rencananya bulan depan aku mau membuka cabang kelima di Riau—dekat bandara. Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih… .

9.   Nonton Mak Yong
Meskipun bulan lalu aku sudah melihat di Sidney, tetap saja menonton Mak Yong di tanah leluhurnya, Riau, lebih asyik—dekat rumah nenek pula jadi aku bisa sekalian mengunjungi rumah nenek. Setelah Mak Yong, aku akan menonton La Galigo, blantenan, ikut dugderan, sekaten, dan budaya Indonesia yang lain. Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih… .

10. Menjadi penulis terkenal yang produktif
Setelah melahirkan 85 buku dengan berbagai genre, kini aku dipercaya untuk melakukan salah satu hal yang sangat menyenangkan: menulis kartu. Ha! Kata-kataku akan berhamburan di kartu ucapanmu, kartu posmu, pembatas bukumu, dan di kepalamu. Oh, tentu Tuhanku sangat baik, mau mempercayakan aksara-aksara itu menetes dari benakku. Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih… .

11.   Punya taman bacaan dan toko buku
Acara di taman bacaanku hari ini adalah tawuran aksara: adu pantun antarsiswa SMA. Mungkin bila melihat taman bacaanku kau akan teringat “Rumah Dunia”-nya Gola Gong. Em, kira-kira berkonsep serupa. Kubuat taman bacaanku tak hanya untuk mereka yang mau membaca, tapi berbagai kegiatan kuadakan di sini: dari adu pantun, pementasan, hingga nonton bareng ala layar tancap. Aku jual kacang rebus, lho! Hehehe… . Di tengah-tengah taman ada dua bus tingkat model jadul. Itu toko bukuku! Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih… .

12.  Berkendara dengan sepeda
Turun dari sepeda aku masuk rumah. Lamat-lamat kudengar berita menyiarkan kemacetan melanda Malaysia. Aku seperti ingat kata itu: kemacetan. Ah, ya, macet, saat semua kendaraan tumpah ruah di jalan. Itu masa lalu kelam Indonesia, terutama Jakarta. Kini tiap orang di Jakarta berkendara dengan sepeda: sepeda lipat, sepeda gulung, sepeda terbang. Jika kauhendak bepergian dengan beberapa orang, kau bisa gunakan bebek-bebekan terbang. Udara bersih, badan sehat, umur efektif (tua di rumah, bukan di jalan). Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih… .

13. Berbahagia bersama pangeranku dan pangeran-putri kami
Badanku menggendut untuk yang kelima kalinya. Kami menghormati rukun Islam, menganut asas balonku, dan mengamalkan pancasila. Suka dengan angka lima. Hehehe… . Pangeran-putri cilikku berlomba-lomba mencari perhatian ayahnya yang sedang sibuk bercakap-cakap dengan calon anggota baru keluarga yang masih di perut. Cara mereka mencari perhatian bermacam-macam, yaitu: ada yang menunjuk-nunjuk matahari yang mulai rebah, ada yang memamerkan istana pasir buatannya, ada yang mengajaknya bermain ombak, ada juga yang meminta pendapat untuk nama pantai temuan kami ini. Ah, kutatap langit dan kugumamkan, “Semoga tiap orang tidur dalam keadaan bahagia malam ini—seperti kami.” Sepertinya suamiku mendengar karena ia menyahut, “Ya, bahagia malam ini, malam besok, besoknya lagi, besoknya besok, dan seterusnya. Aamiiin… .” Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih… .

Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih… .
Alhamdulillah, alhamdulillah.. all praises to Allah, all praises to Allah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar