Rabu, 23 Februari 2011

kok nggak dirayain, sih?

beberapa tahun yang lalu, seorang kawan berkata kurang lebih begini: "Gue nggak mau pernikahan gue dirayain. nikah di KUA aja. yang penting sah dan sakral. cukup."

selanjutnya, tahun 2008 lalu saya bertemu dengan orang yang juga berpendapat demikian. jadi ada dua orang yang tidak ingin pernikahannya dirayakan.

semula saya tidak habis pikir. mengapa tidak dirayakan?
bukankah pesta pernikahan itu adalah ajang buat kita berbagi kebahagiaan yang kita punya dengan orang lain?

sekalipun saya memiliki watak yang tidak jauh berbeda dengan keduanya--seperti saya yakini sendiri--saya benar-benar tidak mengerti alur pemikiran mereka. saya benar-benar tidak mengerti.

belakangan ini saya seperti mendapat jawaban atas ketidakpahaman saya itu.

pertama, seperti yang secara gamblang keduanya tuturkan, keduanya menyatakan umurnya sudah melebihi "umur kewajaran menikah"--kita andaikan standar bagi perempuan umur 24-25 tahun, sedangkan laki-laki umur 26-27.

kedua, keduanya tampak menginginkan kepraktisan. maksudnya, anggota suku tertentu biasanya menginginkan calonnya juga berasal dari suku yang sama agar dapat melangsungkan acara sesuai adat. benturan terjadi jika calon mempelai bukan dari masyarakat tradisi yang sama. akan terjadi penuduhan dan saling tembak bahwa adat yang satu berusaha menutup adat yang lain. secara konkret, kasus yang terjadi pada orang kedua (yang mulai saya kenal tahun 2008). begini.
si wanita berasal dari suku Jawa sedangkan sang lelaki berasal dari suku Betawi. wanita yang semula tidak menginginkan adanya perayaan ini pada akhirnya setuju mengadakan perayaan dengan menggunakan logikanya. maksudnya, ia tidak menggunakan salah satu adat itu: kenetralan, saya pikir. kebaya yang dipilih untuk dikenakan kebaya modern, bukan kebaya "Jawa" atau "Betawi".
dalam acara itu, konon akan menampilkan kesenian gambus. perihal gambus ini sebenarnya "cuma" sumbangan dari teman2 sang pria yang sayang dengan keduanya. sayangnya, pihak wanita menyangka itu adalah bentuk penguasaan adat Betawi dalam perayaan tersebut. ditambah lagi, perayaan akan diadakan di tempat pria dan akan diadakan Maulid. hal ini membuat keluarga (besar) sang wanita merasa diremehkan.
oh, ya, ampun.
padahal, pemilihan tempat perayaan didasarkan atas logika pula: rumah sang wanita kecil, berada di gang sempit, dan keduanya hanya mau melangsungkan perayaan satu kali saja.
fyi, pihak perempuan menginginkan adat sempurna: prosesi injak telor, lempar sirih, dan seterusnya.
ini mengenai harga diri, menurut mereka.

ketiga, kesakralan yang menjadi panglima. mengenai ini, saya sendiri berdebat dengan ibu saya yang notabene Jawa totok. untuk apa memaksakan diri melaksanakan adat yang menguras kantong terlalu dalam? Jawa itu bukan karena seseorang menginjak telur atau melempar sirih, saya katakan demikian. Jawa itu ya kita. kita terlahir sebagai Jawa, sehingga otomatis di mana kita berada kita Jawa. tidak bisa diukur dari digunakan tidaknya adat seperti itu dalam perayaan. saya berkata begini bukan karena saya membenci adat itu. sama sekali tidak. saya justru senang dengan adat itu. upacara temon, dan seterusnya.
taapiii.. sekali lagi, kalau kantongnya berisi. kalau nggak ada isinya ya nggak usah maksa.
seringkali orang mewajibkan pihak penyelenggara pernikahan meminjam uang kepada pihak lain, misalnya bank. menurut Ibu saya, yang menggunakan sudut pandang masyarakat kebanyakan, "Siapa pun akan meminjamkan uang kepada orang yang akan menikah karena uang itu akan kembali."
ya Allah, Gusti.
ini lagi.
memiskinkan makna kesakralan pernikahan kayaknya.
maksud saya begini,
kalau orang rela pinjam uang kepada pihak lain gede-gedean berarti dituntut untuk memulangkan uang tersebut, kan?
nah, dari mana pihak penyelenggara pernikahan dapat uang?
dari tamu yang datang bukan?
di sini pada akhirnya terjadi pergeseran nilai kesakralan yang saya maksud.
orang tidak lagi mengharapkan orang lain datang karena doanya atau sekadar membagi kebahagiaannya tetapi juga mengharapkan--dengan sangat--amplopnya. atau orangnya nggak usah datang, yang penting duitnya (???).
dalam kondisi seperti ini, pemberi amplop kosong pun dikutuk tujuh turunan.
padahal, bisa saja pemberi amplop kosong itu tidak semata-mata mencari untung.
bisa saja dia memang benar-benar ingin datang dan memberi doa tetapi tidak punya uang.
atau bisa saja dia mengharapkan adanya perayaan seperti pernikahan sebagai ajang untuk makan enak karena dalam kehidupan sehari-harinya dia hidup dalam kekurangan. 
mana kita tahu apa yang terjadi di dalam rumah tetangga kita, kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar